DUNIA ANAK
ADALAH DUNIA BERMAIN
Imam Mucharror
Awalnya, bermain belum mendapat perhatian khusus dari para
Ahli Psikologi. Hal ini disebabkan karena keterbatasan pengetahuan tentang
Psikologi Perkembangan Anak dan kurangnya perhatian mereka terhadap
perkembangan anak.
Di antara tokoh yang dianggap
paling berjasa dalam meletakkan dasar permainan adalah Plato, seorang filosof
Yunani kuno yang hidup kira-kira pada tahun 470-390 SM. Plato dianggap sebagai
orang pertama yang menyadari betapa pentingnya bermain jika ditinjau dari segi
nilai praktisnya. Menurut Plato, anak-anak akan lebih mudah mempelajari Aritmetika
dengan cara membagi-bagikan Apel kepada anak-anak. Juga melalui pemberian alat
permainan miniatur balok-balok kepada anak usia 3 tahun, pada akhirnya akan
mengantar anak tersebut menjadi seorang Ahli Bangunan.
Filosof lainnya, Aristoteles
(384-322 SM), berpendapat bahwa anak-anak perlu didorong untuk bermain dengan
apa yang akan mereka tekuni di masa dewasa nanti. Namun jauh-jauh sebelum
Comenius (abad 17 M), Rousseau, Pestalozzi, dan Frobel (abad 18 dan awal abad
19) berbicara tentang pendidikan anak, di belahan Timur pada tahun 571-632 M.,
Muhammad s.a.w. dengan penuh kemantapan menata Ilmu Pengetahuan, khususnya
yang berkenaan dengan etika atau akhlak kerumahtanggaan secara detail.
Dalam kaitannya dengan bermain,
Muhammad s.a.w. tampaknya telah lebih dahulu mengajarkan bagaimana seharusnya
memperlakukan anak-anak dengan memberi contoh menimang dan memanjakan
cucu-cucunya, Hasan dan Husain, bermain kuda-kudaan, bermain ciluk ba,
dan lain sebagainya. Sehingga wajar jika dalam hal ini, Imam al-Ghazali,
seorang filosof Muslim yang hidup antara tahun 1059-1111 M. memandang bahwa
anak adalah amanat bagi kedua orang tuanya. Hatinya yang masih suci adalah
permata yang amat mahal. Apabila ia diajari dan dibiasakan untuk berbuat
kebaikan, maka ia akan tumbuh pada kebaikan itu dan mendapatkan kebahagiaan di
Dunia dan di Akhirat. Tetapi, apabila dibiasakan untuk berbuat kejahatan dan
dibiarkan seperti binatang, maka ia akan sengsara dan binasa. Cara membesarkan
anak yang baik adalah dengan mendidik dan mengajarkan akhlak yang mulia padanya.
Selanjutnya, bermain-main dalam
pandangan al-Ghazali adalah sesuatu yang sangat penting. Sebab, melarangnya
dari bermain-main seraya memaksanya untuk belajar terus menerus dapat mematikan
hatinya, mengganggu kecerdasannya, dan merusak irama hidupnya. Sedemikian rupa
pengaruhnya sehingga ia akan berupaya melepaskan diri sama sekali dari
kewajibannya untuk belajar.
Merujuk pada temuan Dr. Asma Hasan
Fahmi (1975), sesungguhnya jika dipandang sebagai metode, bermain dalam
pendidikan Islam sudah tidak disangsikan lagi keberadaannya, sejak semula
sudah ada dalam Islam hingga sekarang ini. Pendidikan Islam sangat menghargai
dan memperhatikan kebutuhan anak-anak terhadap permainan. Sebab, permainan
merupakan satu hal yang penting bagi perkembangan inteligensi dan fisik-motorik
(jasmaniah) anak.
Bermain merupakan dunianya
anak-anak. Di mana dan dengan siapa mereka berkumpul, di situ pula akan muncul
permainan. Melalui bermain mereka akan mengenal sekaligus belajar berbagai hal
tentang kehidupannya, juga dapat melatih keberanian dan menumbuhkan kepercayaan
diri, baik dengan mempergunakan alat (peraga) maupun tidak memakainya.
Usia pra-sekolah (TK) merupakan
usia paling peka bagi anak. Karena itu, ia menjadi titik tolak paling strategis
untuk mengukir kualitas seorang anak di masa depan. Anak kaya akan daya khayal,
daya pikir, rasa ingin tahu, dan kreativitas yang tinggi. Para Ahli Psikologi anak
mengatakan bahwa kreativitas anak dimulai sejak usia 3 tahun dan mencapai
puncaknya sampai berumur 4,5 tahun.
Operasionalisasi pendidikan bagi
anak-anak usia dini dan anak-anak pra sekolah (TK) akan lebih bermakna jika
dilakukan melalui metode pendidikan yang menyenangkan, edukatif, sesuai dengan
minat, dan bakat serta kebutuhan pribadi anak. Oleh karena itu, mereka butuh
permainan sebagai media pendidikan di dalam pembelajaran di sekolah. Alat
bermain tidak harus mahal, unsur mendidiklah yang harus diutamakan. Akan lebih
jelas lagi jika dalam menyampaikan materi pelajaran dengan pendekatan belajar
sambil bermain.
Berbicara tentang permainan
anak-anak sesungguhnya sama saja dengan mempermasalahkan salah satu cara
bagaimana anak-anak diberi kesempatan untuk mendewasakan diri dalam
lingkungannya. Permainan bukan hanya terkait dengan alat-alat permainan, kawan
bermain, tempat bermain, dan lingkungan hidup, tetapi terdapat hal-hal yang
jauh lebih luas cakupan di dalamnya. Melalui permainan, anak-anak dapat
mengekspresikan diri untuk memperoleh kompensasi atas hal-hal yang tidak
mungkin dialaminya. Dengan bermain dan menggunakan alat-alat permainan inilah
anak-anak mengadaptasikan dirinya terhadap lingkungannya.
Menurut Hans Daeng (1982),
permainan dapat dikatakan universal sifatnya, karena hidup pada semua
masyarakat di dunia. Tidak ada psikolog atau pendidik pun yang menolak pendapat
yang menyatakan bahwa permainan atau bermain adalah bagian mutlak dari
kehidupan anak dan merupakan bagian integral dari proses pembentukan
kepribadian anak. Artinya, dengan dan dari permainan itu anak belajar hidup.
Melalui permainan, anak-anak dapat
berkenalan dengan orang-orang dan hal-hal yang mengelilinginya sehingga
mereka menjadi akrab. Perlahan namun pasti, anak-anak berkembang menjadi
anggota masyarakatnya. Dalam ada bersama, bermain bersama, mereka tidak saja
menggunakan alat-alat permainan, tetapi dengan kata-kata khusus mereka saling
adu argumen dan pendirian bila terjadi penyelewengan dari peraturan permainan
yang mereka sepakati. Kata-kata “ejek” tercipta bila ada yang kalah;
kata-kata “penyemangat” terdengar merangsang untuk yang kalah maupun
yang menang.
Permainan merupakan gejala umum
yang terjadi di dunia hewan maupun manusia. Permainan tidak mengenal
lingkungan dan stratifikasi sosial, bisa hinggap di masyarakat kecil pedesaan
maupun konglomerat perkotaan, disenangi anak-anak, pemuda maupun orang dewasa.
Permainan merupakan kesibukan yang ditentukan oleh sendiri, tidak ada unsur
paksaan, desakan atau perintah, dan tidak mempunyai tujuan tertentu.
Keluarga mempunyai tugas
fundamental dalam mempersiapkan anak bagi peranannya di masa depan. Dasar-dasar
perilaku, sikap hidup, dan berbagai kebiasaan ditanamkan kepada anak sejak
dalam lingkungan keluarga. Semua dasar yang menjadi landasan bagi pengembangan
pribadinya itu tidak mudah berubah. Oleh sebab itu, penting sekali diciptakan
lingkungan keluarga yang baik, dalam arti menguntungkan bagi kemajuan dan
perkembangan pribadi anak serta mendukung tercapainya tujuan pendidikan yang
dicita-citakan.
Menurut Hery Noer Aly (1999)
lingkungan keluarga yang baik, sekurang-kurangnya mempunyai tiga ciri, yaitu: Pertama,
keluarga memberikan suasana emosional yang baik bagi anak-anaknya, seperti
perasaan senang, aman, disayangi, dan dilindungi. Kedua, mengetahui
dasar-dasar kependidikan, terutama berkenaan dengan kewajiban dan tanggung
jawab orang tua terhadap pendidikan anak serta tujuan dan isi pendidikan yang
diberikan kepadanya. Ketiga, bekerja sama dengan pusat pendidikan tempat
orang tua mengamanatkan pendidikan anaknya.
Di antara tujuan terpenting dari
pembentukan keluarga menurut Abdurrahman an-Nahlawy (1995) ialah untuk
mewujudkan ketenteraman dan ketenangan psikologis, untuk memenuhi kebutuhan
cinta kasih anak-anak. Karena naluri menyayangi anak merupakan potensi yang
diciptakan Allah bersamaan dengan penciptaan manusia dan binatang serta untuk
menjaga fitrah anak agar tidak melakukan penyimpangan-penyimpangan.
Karena dalam konsep Islam, keluarga adalah penanggung jawab utama
terpeliharanya fitrah anak.
Karena keluarga merupakan tempat
pendidikan pertama dan utama bagi anak, maka suasana kehidupan rumah tangga
(suami-istri) juga harus memperhatikan kebutuhan anak dalam menciptakan
suasana emosional yang baik. Dengan kata lain, orang tua hendaknya menjaga
kondusifitas keluarga.
Rasa kasih sayang serta
ketenteraman yang dirasakan bersama dalam keluarga akan membuat anak tumbuh dan
berkembang dalam suasana bahagia. Kebahagiaan itu pada gilirannya akan memberikan
anak rasa percaya diri, tenteram, cinta serta menjauhkan diri dari rasa
gelisah, dan berbagai penyakit mental yang dapat melemahkan kepribadiannya.
Mengingat pentingnya tugas dan
tanggung jawab keluarga dalam pembentukan anak-anak yang kreatif, maka orang
tua harus dapat memenuhi kasih sayang serta menjaga dan mengembangkan potensi
dasar kreativitas anak. Orang tua juga harus dapat memberikan perhatian yang
penuh terhadap hal-hal yang dapat mendukung anak melakukan kegiatan kreatif.
Jika ditemukan anak terhenti kreativitasnya, maka lebih disebabkan karena
ketidakwaspadaan orang tua terhadap perkembangan psikologis anak.
Pada
hakikatnya, anak dilahirkan dengan membawa “potensi dasar” (fitrah),
maka kewajiban orang tua ialah membimbing dan membina fitrah tersebut
pada arah yang dapat menguntungkan bagi perkembangan kecakapan dan motorik
anak, sehingga ia akan benar-benar menjadi generasi kreatif dan mandiri.
Pentingnya
bermain bagi perkembangan kepribadian anak telah diakui kebenarannya secara
universal. Bermain merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dewasa maupun
anak-anak. Kesempatan bermain dan rekreasi akan memberikan kegembiraan serta
kepuasan emosional tersendiri, karena bermain merupakan kegiatan spontan dan
kreatif, yang dengannya seseorang dapat menemukan ekspresi diri secara
sepenuhnya.
Sederet
Ahli Filsafat seperti Plato dan Aristoteles, serta Ahli Pendidikan seperti
Comenius, Rousseau, Pestalozi, Froebel, al-Ghazali, Avicenna (Ibnu Sina), dan
Ibnu Khaldun menekankan betapa pentingnya permainan bagi seorang anak. Bagi
mereka, bermain dipandang sebagai kegiatan alamiah anak dalam mendapatkan
pengalaman-pengalaman, alat menemukan kreativitas, serta sarana untuk
mengembangkan kecerdasan.
Unsur-unsur
afeksi, kognisi maupun psikomotor yang terdapat dalam diri
anak sudah selayaknya sejak dini terbiasa diaktifkan demi mendapatkan
kecerdasan yang berkualitas. Melalui permainanlah ketiga unsur pokok pendukung
intelektualitas anak dapat lebih mudah ditangkap, karena permainan merupakan
sarana belajar yang paling efektif dan menyenangkan. Sehingga tidaklah
mengherankan jika kemudian lahir Metode Quantum yang membawa anak
kepada suasana belajar yang menyenangkan dan mengasyikkan, tidak menghadapkan
anak kepada suasana belajar yang menjemukan.
Montessori
(1961) menggambarkan anak yang sedang bermain berada dalam keserasian
sepenuhnya dengan hukum dasar dari aktivitas alamiah. Rogers juga menekankan
bahwa salah satu kondisi internal untuk kreativitas konstruktif adalah
kemampuan untuk bermain dengan unsur-unsur dan konsep-konsep.
Menurut Teori
Rekapitulasi, melalui bermain anak dapat melewati tahap-tahap perkembangan
yang sama dari perkembangan sejarah umat manusia. Melalui kegiatan bermain,
anak dapat memuaskan keinginannya yang terpendam atau mungkin tertekan. Oleh
karenanya penganut Mazhab Psikoanalisis menyebutkan bahwa dalam bermain
anak seolah-olah mencari kompensasi untuk mengekspresikan apa-apa yang tidak ia
peroleh dalam kehidupan nyata (imitasi), dengan cara inilah mereka akan mendapatkan
pemuasan.
Peranan
orang tua dalam mengarahkan anak sehingga diperoleh kesenangan dan kepuasan terutama
dalam menemukan jenis mainan yang tepat untuk perkembangan totalitas
kepribadian anak amat penting. Sebab, selama ini ada yang mengukur perkembangan
anak hanya dari sudut kecerdasan, atau pencapaian prestasi akademik di
sekolahnya saja. Namun, di kemudian hari terbukti bahwa di lapangan pekerjaan,
“tingkat kepandaian” (IQ) bukanlah satu-satunya tolok ukur keberhasilan anak.
Ada kematangan perkembangan lain yang berpengaruh yaitu emotional quotient
(EQ; kecerdasan emosional) dan spiritual quotient (SQ; kecerdasan
spiritual).
Anak
yang mengenal diri sendiri dan lingkungannya akan tahu pula cara berinteraksi
dengan lingkungan agar kehidupan berjalan serasi, atau berbuat sesuatu yang
tidak mengancam kehidupan di antara orang banyak. Ia pun belajar mempertemukan
banyak keinginan dalam suatu situasi.
Idealnya
anak diperkenalkan dengan berbagai jenis mainan, baik yang lama maupun yang
baru. Manfaatnya adalah, mendidik anak untuk mampu memilih dan membedakan apa
yang ia butuhkan. Agar anak mampu memilih, orang tua dituntut mengomunikasikan
mainan apa yang boleh dan tidak boleh dibeli, dilengkapi dengan alasan-alasan.
Penjelasan itu bisa sangat beragam mulai dari segi keamanan, tingkat kesulitan,
harga, atau alasan logis lainnya. Penjelasan demikian benar-benar harus
ditanamkan sehingga tidak terjadi selisih paham yang mampu mengakibatkan
kekecewaan, misalnya, rasa kurang disayang. Cara ini secara tidak langsung juga
melatih anak untuk dapat menjadi dirinya sendiri. Ia tidak mudah terpengaruh
bujukan mainan yang sedang trend namun kurang bermanfaat.
Oleh karenanya dalam memberikan
kesempatan bermain, orang tua atau guru perlu mengklasifikasikan jenis serta
bentuk permainan yang lebih tepat. Artinya, dalam memilih permainan sebaiknya
orang tua tidak asal memilih, tetapi harus memperhatikan unsur edukatif yang
terdapat dalam permainan tersebut.
Menurut Zakiyah Darajat (1976),
permainan mempunyai peranan penting dalam pembinaan pribadi anak. Hal senada
juga diperkuat Joan Freeman dan Utami Munandar (1995) yang menyebutkan bahwa
pada umumnya para pakar sepakat bermain merupakan suatu aktivitas yang
membantu anak mencapai perkembangan yang utuh, baik fisik, intelektual, sosial,
moral, dan emosional anak.
Sesungguhnya setiap anak memiliki potensi kreatif. Beberapa
di antaranya memilikinya lebih daripada yang lain. Tetapi tidak ada anak yang
tidak kreatif sama sekali. Terutama pada anak-anak usia pra sekolah, mereka
memiliki kreativitas yang alamiah yang sangat besar. Sayangnya, orang tua atau
pendidik masih banyak yang kurang menyadari dan menghargai akan pentingnya
kreativitas anak. Kreativitas bukanlah merupakan kebebasan untuk melakukan
segala hal tanpa batas.