Selasa, 02 Juni 2020

DUNIA ANAK ADALAH DUNIA BERMAIN




DUNIA ANAK ADALAH DUNIA BERMAIN
Imam Mucharror

Awalnya, bermain belum mendapat perhatian khusus dari para Ahli Psikologi. Hal ini disebabkan karena keterbatasan pengetahuan tentang Psikologi Perkembangan Anak dan kurangnya perhatian mereka terhadap perkembangan anak.
Di antara tokoh yang dianggap paling berjasa dalam meletakkan dasar permainan adalah Plato, seorang filosof Yunani kuno yang hidup kira-kira pada tahun 470-390 SM. Plato dianggap sebagai orang per­tama yang menyadari betapa pentingnya bermain jika ditinjau dari segi nilai praktisnya. Menurut Plato, anak-anak akan lebih mudah mempelajari Aritmetika dengan cara membagi-bagikan Apel kepada anak-anak. Juga melalui pemberian alat permainan miniatur balok-balok kepada anak usia 3 tahun, pada akhirnya akan mengantar anak tersebut menjadi seorang Ahli Bang­unan.
Filosof lainnya, Aristoteles (384-322 SM), ber­pendapat bahwa anak-anak perlu didorong untuk ber­main dengan apa yang akan mereka tekuni di masa dewasa nanti. Namun jauh-jauh sebelum Comenius (abad 17 M), Rousseau, Pestalozzi, dan Frobel (abad 18 dan awal abad 19) berbicara tentang pendidikan anak, di belahan Timur pada tahun 571-632 M., Mu­hammad s.a.w. dengan penuh kemantapan menata Ilmu Pengetahuan, khususnya yang berkenaan dengan etika atau akhlak kerumahtanggaan secara detail.
Dalam kaitannya dengan bermain, Muhammad s.a.w. tampaknya telah lebih dahulu mengajarkan bagaimana seharusnya memperlakukan anak-anak dengan memberi contoh menimang dan memanjakan cucu-cucunya, Hasan dan Husain, bermain kuda-kudaan, bermain ciluk ba, dan lain sebagainya. Sehingga wajar jika dalam hal ini, Imam al-Ghazali, seorang filosof Muslim yang hidup antara tahun 1059-1111 M. meman­dang bahwa anak adalah amanat bagi kedua orang tuanya. Hatinya yang masih suci adalah permata yang amat mahal. Apabila ia diajari dan dibiasakan untuk berbuat kebaikan, maka ia akan tumbuh pada kebaikan itu dan mendapatkan ke­bahagiaan di Dunia dan di Akhirat. Tetapi, apabila dibiasakan untuk berbuat kejahatan dan dibiarkan seperti binatang, maka ia akan sengsara dan binasa. Cara membesarkan anak yang baik adalah dengan mendidik dan mengajarkan akhlak yang mulia pada­nya.
Selanjutnya, bermain-main dalam pandangan al-Ghazali adalah sesuatu yang sangat penting. Sebab, melarangnya dari bermain-main seraya memaksanya untuk belajar terus menerus dapat mematikan hatinya, mengganggu kecerdasannya, dan merusak irama hidupnya. Sedemikian rupa pengaruhnya sehingga ia akan berupaya melepaskan diri sama sekali dari kewajibannya untuk belajar.
Merujuk pada temuan Dr. Asma Hasan Fahmi (1975), sesungguhnya jika dipandang sebagai metode, bermain dalam pendidikan Islam sudah tidak disangsi­kan lagi keberadaan­nya, sejak semula sudah ada dalam Islam hingga sekarang ini. Pendidikan Islam sangat menghargai dan memperhatikan kebutuhan anak-anak terhadap permainan. Sebab, permainan merupakan satu hal yang penting bagi perkembangan inteligensi dan fisik-motorik (jasmaniah) anak.
Bermain merupakan dunianya anak-anak. Di mana dan dengan siapa mereka berkumpul, di situ pula akan muncul permainan. Melalui bermain mereka akan mengenal sekaligus belajar berbagai hal tentang kehidupannya, juga dapat melatih keberanian dan menumbuhkan kepercayaan diri, baik dengan memper­gunakan alat (peraga) maupun tidak memakainya.
Usia pra-sekolah (TK) merupakan usia paling peka bagi anak. Karena itu, ia menjadi titik tolak paling strategis untuk mengukir kualitas seorang anak di masa depan. Anak kaya akan daya khayal, daya pikir, rasa ingin tahu, dan kreativitas yang tinggi. Para Ahli Psikologi anak mengatakan bahwa kreativitas anak dimulai sejak usia 3 tahun dan mencapai puncak­nya sampai berumur 4,5 tahun.
Operasionalisasi pendidikan bagi anak-anak usia dini dan anak-anak pra sekolah (TK) akan lebih bermakna jika dilakukan melalui metode pendidikan yang menyenangkan, edukatif, sesuai dengan minat, dan bakat serta kebutuhan pribadi anak. Oleh karena itu, mereka butuh permainan sebagai media pendidik­an di dalam pembelajaran di sekolah. Alat bermain tidak harus mahal, unsur mendidiklah yang harus di­utamakan. Akan lebih jelas lagi jika dalam menyam­paikan materi pelajaran dengan pendekatan belajar sambil bermain.
Berbicara tentang permainan anak-anak se­sungguhnya sama saja dengan mempermasalahkan salah satu cara bagaimana anak-anak diberi kesempat­an untuk mendewasakan diri dalam lingkungannya. Permainan bukan hanya terkait dengan alat-alat per­mainan, kawan bermain, tempat bermain, dan ling­kungan hidup, tetapi terdapat hal-hal yang jauh lebih luas cakupan di dalamnya. Melalui permainan, anak-anak dapat mengekspresi­kan diri untuk memperoleh kompensasi atas hal-hal yang tidak mungkin dialami­nya. Dengan bermain dan menggunakan alat-alat per­mainan inilah anak-anak mengadaptasikan dirinya terhadap lingkungannya.
Menurut Hans Daeng (1982), permainan dapat dikatakan universal sifatnya, karena hidup pada se­mua masyarakat di dunia. Tidak ada psikolog atau pendidik pun yang menolak pendapat yang menyata­kan bahwa permainan atau bermain adalah bagian mutlak dari kehidupan anak dan merupakan bagian integral dari proses pembentukan kepribadian anak. Artinya, dengan dan dari permainan itu anak belajar hidup.
Melalui permainan, anak-anak dapat berkenal­an dengan orang-orang dan hal-hal yang mengelilingi­nya sehingga mereka menjadi akrab. Perlahan namun pasti, anak-anak berkembang menjadi anggota ma­syarakat­nya. Dalam ada bersama, bermain bersama, mereka tidak saja menggunakan alat-alat permainan, tetapi dengan kata-kata khusus mereka saling adu argumen dan pendirian bila terjadi penyelewengan dari peraturan permainan yang mereka sepakati. Kata-kata “ejek” tercipta bila ada yang kalah; kata-kata “penyemangat” terdengar merangsang untuk yang kalah maupun yang menang.
Permainan merupakan gejala umum yang ter­jadi di dunia hewan maupun manusia. Permainan tidak mengenal lingkungan dan stratifikasi sosial, bisa hinggap di masyarakat kecil pedesaan maupun kong­lomerat perkotaan, disenangi anak-anak, pemuda maupun orang dewasa. Permainan merupakan ke­sibukan yang ditentukan oleh sendiri, tidak ada unsur paksaan, desakan atau perintah, dan tidak mempunyai tujuan tertentu.
Keluarga mempunyai tugas fundamental dalam mempersiapkan anak bagi peranannya di masa depan. Dasar-dasar perilaku, sikap hidup, dan berbagai ke­biasaan ditanamkan kepada anak sejak dalam ling­kungan keluarga. Semua dasar yang menjadi landasan bagi pengembangan pribadinya itu tidak mudah berubah. Oleh sebab itu, penting sekali diciptakan lingkungan keluarga yang baik, dalam arti menguntung­kan bagi kemajuan dan perkembangan pribadi anak serta mendukung tercapainya tujuan pendidikan yang dicita-citakan.
Menurut Hery Noer Aly (1999) lingkungan ke­luarga yang baik, sekurang-kurangnya mempunyai tiga ciri, yaitu: Pertama, keluarga memberikan suasana emosional yang baik bagi anak-anaknya, seperti perasa­an senang, aman, disayangi, dan dilindungi. Kedua, mengetahui dasar-dasar kependidikan, terutama ber­kenaan dengan kewajiban dan tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan anak serta tujuan dan isi pendidikan yang diberikan kepadanya. Ketiga, bekerja sama dengan pusat pendidikan tempat orang tua meng­amanatkan pendidikan anaknya.
Di antara tujuan terpenting dari pembentukan keluarga menurut Abdurrahman an-Nahlawy (1995) ialah untuk mewujudkan ketenteraman dan ketenangan psikologis, untuk memenuhi kebutuhan cinta kasih anak-anak. Karena naluri menyayangi anak merupa­kan potensi yang diciptakan Allah bersamaan dengan penciptaan manusia dan binatang serta untuk menjaga fitrah anak agar tidak melakukan penyimpangan-penyimpangan. Karena dalam konsep Islam, keluarga adalah penanggung jawab utama terpeliharanya fitrah anak.
Karena keluarga merupakan tempat pendidikan pertama dan utama bagi anak, maka suasana kehidup­an rumah tangga (suami-istri) juga harus memperhati­kan kebutuhan anak dalam menciptakan suasana emosional yang baik. Dengan kata lain, orang tua hendaknya menjaga kondusifitas keluarga.
Rasa kasih sayang serta ketenteraman yang dirasakan bersama dalam keluarga akan membuat anak tumbuh dan berkembang dalam suasana bahagia. Kebahagiaan itu pada gilirannya akan memberikan anak rasa percaya diri, tenteram, cinta serta menjauh­kan diri dari rasa gelisah, dan berbagai penyakit mental yang dapat melemahkan kepribadiannya.
Mengingat pentingnya tugas dan tanggung jawab keluarga dalam pembentukan anak-anak yang kreatif, maka orang tua harus dapat memenuhi kasih sayang serta menjaga dan mengembangkan potensi dasar kreativitas anak. Orang tua juga harus dapat memberikan perhatian yang penuh terhadap hal-hal yang dapat mendukung anak melakukan kegiatan kreatif. Jika ditemukan anak terhenti kreativitasnya, maka lebih disebabkan karena ketidakwaspadaan orang tua terhadap perkembangan psikologis anak.
Pada hakikatnya, anak dilahirkan dengan mem­bawa “potensi dasar” (fitrah), maka kewajiban orang tua ialah membimbing dan membina fitrah tersebut pada arah yang dapat menguntungkan bagi perkem­bangan kecakapan dan motorik anak, sehingga ia akan benar-benar menjadi generasi kreatif dan mandiri.
Pentingnya bermain bagi perkembangan ke­pribadian anak telah diakui kebenarannya secara uni­versal. Bermain merupakan salah satu kebutuhan da­sar manusia dewasa maupun anak-anak. Kesempatan bermain dan rekreasi akan memberikan kegem­biraan serta kepuasan emosional tersendiri, karena bermain merupakan kegiatan spontan dan kreatif, yang dengan­nya seseorang dapat menemukan ekspresi diri secara sepenuhnya.
Sederet Ahli Filsafat seperti Plato dan Aristo­teles, serta Ahli Pendidikan seperti Comenius, Rous­seau, Pestalozi, Froebel, al-Ghazali, Avicenna (Ibnu Sina), dan Ibnu Khaldun menekankan betapa penting­nya permainan bagi seorang anak. Bagi mereka, ber­main dipandang sebagai kegiatan alamiah anak dalam mendapatkan pengalaman-pengalaman, alat menemu­kan kreativitas, serta sarana untuk mengembangkan kecerdasan.
Unsur-unsur afeksi, kognisi maupun psikomotor yang terdapat dalam diri anak sudah selayaknya sejak dini terbiasa diaktifkan demi mendapatkan kecerdasan yang berkualitas. Melalui permainanlah ketiga unsur pokok pendukung intelek­tualitas anak dapat lebih mudah ditangkap, karena permainan merupakan sarana belajar yang paling efektif dan menyenang­kan. Sehingga tidaklah mengherankan jika kemudian lahir Metode Quantum yang membawa anak kepada suasana belajar yang menyenangkan dan mengasyikkan, tidak menghadapkan anak kepada suasana belajar yang menjemukan.
Montessori (1961) menggambarkan anak yang sedang bermain berada dalam keserasian sepenuhnya dengan hukum dasar dari aktivitas alamiah. Rogers juga menekankan bahwa salah satu kondisi internal untuk kreativitas konstruktif adalah kemampuan un­tuk bermain dengan unsur-unsur dan konsep-konsep.
Menurut Teori Rekapitulasi, melalui bermain anak dapat melewati tahap-tahap perkembangan yang sama dari per­kembangan sejarah umat manusia. Me­lalui kegiatan bermain, anak dapat memuaskan ke­inginannya yang terpendam atau mungkin tertekan. Oleh karenanya penganut Mazhab Psikoanalisis me­nyebutkan bahwa dalam bermain anak seolah-olah mencari kompensasi untuk mengekspresikan apa-apa yang tidak ia peroleh dalam kehidupan nyata (imitasi), dengan cara inilah mereka akan mendapatkan pe­muasan.
Peranan orang tua dalam mengarahkan anak sehingga diperoleh kesenangan dan kepuasan ter­utama dalam menemu­kan jenis mainan yang tepat untuk perkembangan totalitas kepribadian anak amat penting. Sebab, selama ini ada yang mengukur per­kembangan anak hanya dari sudut kecerdasan, atau pencapaian prestasi akademik di sekolahnya saja. Namun, di kemudian hari terbukti bahwa di lapangan pekerjaan, “tingkat kepandaian” (IQ) bukanlah satu-satunya tolok ukur keberhasilan anak. Ada kematang­an perkembangan lain yang berpengaruh yaitu emoti­onal quotient (EQ; kecerdasan emosional) dan spiritual quotient (SQ; kecerdasan spiritual).
Anak yang mengenal diri sendiri dan lingkung­annya akan tahu pula cara berinteraksi dengan ling­kungan agar kehidupan berjalan serasi, atau berbuat sesuatu yang tidak mengancam kehidupan di antara orang banyak. Ia pun belajar mempertemu­kan banyak keinginan dalam suatu situasi.
Idealnya anak diperkenalkan dengan berbagai jenis mainan, baik yang lama maupun yang baru. Man­faatnya adalah, mendidik anak untuk mampu memilih dan membedakan apa yang ia butuhkan. Agar anak mampu memilih, orang tua dituntut mengomunikasi­kan mainan apa yang boleh dan tidak boleh dibeli, dilengkapi dengan alasan-alasan. Penjelasan itu bisa sangat beragam mulai dari segi keamanan, tingkat kesulitan, harga, atau alasan logis lainnya. Penjelasan demikian benar-benar harus ditanamkan sehingga tidak terjadi selisih paham yang mampu mengakibat­kan kekecewaan, misalnya, rasa kurang disayang. Cara ini secara tidak langsung juga melatih anak untuk dapat menjadi dirinya sendiri. Ia tidak mudah terpeng­aruh bujukan mainan yang sedang trend namun kurang bermanfaat.
Oleh karenanya dalam memberikan kesempat­an bermain, orang tua atau guru perlu mengklasifikasi­kan jenis serta bentuk permainan yang lebih tepat. Artinya, dalam memilih permainan sebaiknya orang tua tidak asal memilih, tetapi harus memperhatikan unsur edukatif yang terdapat dalam permainan ter­sebut.
Menurut Zakiyah Darajat (1976), permainan mempunyai peranan penting dalam pembinaan pri­badi anak. Hal senada juga diperkuat Joan Freeman dan Utami Munandar (1995) yang menyebutkan bah­wa pada umumnya para pakar sepakat bermain meru­pakan suatu aktivitas yang membantu anak mencapai perkembangan yang utuh, baik fisik, intelektual, sosial, moral, dan emosional anak.
Sesungguhnya setiap anak memiliki potensi kreatif. Beberapa di antaranya memilikinya lebih dari­pada yang lain. Tetapi tidak ada anak yang tidak kre­atif sama sekali. Terutama pada anak-anak usia pra sekolah, mereka memiliki kreativitas yang alamiah yang sangat besar. Sayangnya, orang tua atau pendidik masih banyak yang kurang menyadari dan menghargai akan pentingnya kreativitas anak. Kreativitas bukan­lah merupakan kebebasan untuk melakukan segala hal tanpa batas.

Senin, 01 Juni 2020

KATA HATI


KATA HATI

KATA adalah ungkapan perasaan seorang manusia tentang apa yang ingin dikomunikasikannya, entah kepada dirinya sendiri atau kepada orang lain, di saat apapun atau dimanapun. Penyampaian kata merupakan cerminan tentang apa yang dialami seseorang yang menyangkut rasa, etika, estetika, seni, nafsu, pemikiran dan budaya.

Cobalah lihat sekeliling kita, maka akan dapat kita ketahui siapakah kita sesungguhnya dengan meneliti cara penyampaian kata yang diucapkan seseorang yang banyak sekali berada di sekitar kita. Disadari atau tidak, kita setiap hari disuguhi sebuah pelajaran yang dapat kita petik hikmahnya untuk menata hidup dan kehidupan kita dalam menghadapi hari esok yang dipenuhi berbagai tantangan, dimana akan menentukan tanggung jawab kita di lingkungan kehidupan sosial kita yang sesungguhnya.

Secara fitrah manusia maka setiap hari kita dituntut untuk berbuat kebaikan dan kebajikan. Perbuatan kita itu pastilah digerakkan oleh pikiran kita dimana hasil pemikiran tersebut akan dikontrol oleh hati sanubari atau kalbu kita dimana isi pengontrolan itu adalah suatu yang murni dan jujur serta berisikan nilai-nilai luhur (values). Ungkapan isi pengontrolan inilah yang disebut sebagai KATA HATI yang menentukan derajad dan martabat seorang manusia sesungguhnya.  Namun karena saat ini manusia banyak dipengaruhi oleh berbagai keadaan yang sangat berpengaruh kepada kehidupannya maka manusia tidak menghiraukan atau melupakan apa yang ada dalam KATA HATI tadi dan hal ini menuntunnya untuk menjadikannya seorang yang egois, mementingkan diri sendiri, merasa paling benar, paling pintar, paling mulia dan berbagai paling lainnya yang akan menjadikannya sanggup berbuat segala cara agar tercapai apa yang diinginkannya. Keadaan ini dialami tak memandang tingkatan, entah itu pemimpin, pejabat, tokoh agama, masyarakat, kaum ibu dan perempuan, pemuda, mahasiswa dan pelajar dsb yang menuntun mereka berbuat kejahatan, kenistaan dan kejelekan yang menurunkan citra manusia sebagai makhluk Allah yang mulia.

Maka maraklah korupsi, penipuan, pemalsuan, krimina­litas, kekerasan, tawuran, pelecehan, perampasan hak orang lain, perusakan sumber daya dan kelestarian alam serta berbagai perbuatan yang jauh dari sifat kebaikan dan ke­bajikan. Kita juga akan kehilangan rasa keikhlasan berbagi dengan orang lain, kebersamaan dan kepedulian terhadap orang dan lingkungan kita, pada akhirnya kita akan terpecah belah karena tidak ada lagi persatuan dan kesatuan diantara kita. Manusia kemudian kehilangan nilai kepribadian yang memiliki makna buat dirinya.

Menyongsong masa depan yang semakin penuh tantangan akibat pesatnya populasi umat  manusia, makin menipisnya sumber daya alam karena eksploitasi yang berlebihan disebabkan ulah keserakahan manusia, kebersamaan antara individu manusia sebagai masyarakat dan bangsa  merupakan faktor utama penentu keberhasilan manusia menata hidup dan kehidupannya. Untuk itu marilah kita mencoba mendengarkan KATA HATI kita dan dengan melakukan itu, maka akan terbukalah kepekaan kita terhadap orang lain dan lingkungan sekeliling kita. Kita akan berubah menjadi seseorang yang baru dengan sifat-sifat yang santun, bijak dan arif terhadap segala apa yang ada di dalam kehidupan kita. Kita akan merasakan indahnya anugerah Tuhan yang diberikanNya kepada kita, yang patut kita syukuri dengan sepenuh hati dan jiwa kita. Dengan kondisi ini maka kita akan dapat menyelesaikan segala permasalahan secara bersama-sama sebagai bangsa yang kokoh dan tegar menghadapi tantangan jaman. Mengapa saat ini kita  masih terkotak-kotak dalam berbagai kepentingan yang sebenarnya dapat diselesaikan bila bermuara kepada kepentingan bersama ? Cobalah tengok bahwa diantara yang menderita akibat ulah dan keserakahan kita ada saudara kita sendiri, famili, rekan, kerabat dan sahabat kita. 

Kearifan seseorang yang mau mendengarkan KATA HATI akan membawa pengaruh ke area sekitarnya ibarat sinar lampu yang menerangi kegelapan dan akan menuntun jalan bagi orang lain yang membutuhkan keluar dari ketersesatan, ketidaktahuan dan keterpurukan yang selama ini melingkupi mereka. Mungkin selama ini kita kurang peka mendengarkan KATA HATI tetapi hal ini bisa kita latih sedikit demi sedikit dengan cara melakukan perenungan saat kita melakukan ibadah sesuai agama kita masing-masing yang akan mengasah pikiran dan hati nurani kita menuju khusyuknya pencarian jati diri kita sendiri sebagai manusia. Disinilah kita bisa menitikkan air mata tulus yang benar-benar murni tanpa pamrih. Semoga kita bisa memulai mendengarkan KATA HATI dengan sebenar-benarnya.

Kita dan dunia akan semakin tua dan permasalahan akan semakin banyak terutama dipicu perkembangan perekonomian dunia yang makin tak menentu. Seluruh umat manusia semakin dituntut untuk memiliki kiprah nyata menjalani hidupnya dalam bentuk kemitraan yang harmonis dalam tatanan wadah komunitas masyarakat dan bangsa. Dengan berlandaskan bahwa kita mau mendengarkan KATA HATI tuntutan diatas tidaklah sulit untuk dilakukan dan solusi yang tepat dan cepat akan membawa kita keluar dari keterpurukan yang selama ini membelenggu diri kita dalam sebuah ruang sempit kesendirian.

Dengan senantiasa berkaca kepada isi KATA HATI maka kita akan dapat mengisi hari-hari dalam hidup kita dengan penuh kebahagiaan yang terpancar dari lubuk hati kita yang akan berbias pada seluruh alam sekeliling kita. Tanpa terasa dengan menanam satu kebaikan setiap satu hari akan menjadikan kita memiliki kebajikan yang luar biasa.

Berikut ada ceritera yang dapat kita simak tentang apa yang ada dibaliknya.
Dikala saya masih anak-anak  saya selalu diajak ajak saya untuk mengunjungi seorang kiai di daerah Bendo, Malang. Anehnya setiap ayah saya ingin berkunjung kesana (ayah saya seorang Wedana), jauh sebelumnya Kiai Bendo sudah menyuruh para santrinya untuk menyiapkan makan bagi tamunya. Pada kunjungan berikutnya datanglah seorang kiai muda lulusan pesantren terkenal ke rumah ayah dan berkata ingin ikut bersama kami bersilaturahmi ke Kiai Bendo. Kami berangkat dan setiba disana Kiai Bendo yang sudah sepuh (mungkin berusia sekitar 85 tahun atau lebih), giginya sudah banyak yang tanggal, penglihatannya sudah kabur dan jalannya terseok-seok dan bungkuk, sudah menyambut kami dan langsung mengajak kami ke paseban dimana makan sudah disiapkan karena perjalanan dari Malang ke desa Bendo cukup memakan waktu dan kami tiba disana sudah menjelang sore. Berbagai lauk mulai ayam, kambing, sapi dan ikan terhidang bersama nasi putih yang masih mengepulkan asapnya. Kami makan bersama dan selesai makan ayah dan kiai muda tadi berbincang-bincang dengan Kiai Bendo sambil menunggu tibanya saat magrib dimana kami akan sholat bersama Kiai Bendo. Tibalah saat magrib dan kami sholat berjamaah dengan Kiai Bendo sebagai imamnya. Beliau mengimami dengan suara dan bacaan yang menunjukkan sepuhnya beliau. Tak ada kejadian apapun saat kami sholat dan setelah selesai sholat kami kembali duduk-duduk  bersama. Tiba-tiba Kiai Bendo memanggil santrinya dan minta dibawakan telur ayam mentah 6–7 butir dalam cawan yang cukup besar. Kemudian beliau meminta ayah dan sang kiai muda untuk mengambil masing-masing sebutir dan digenggam. Beliau juga mengambil sebutir dan kemudian berkata: “ Pak Wedana dan kiai mari kita baca Al Fatehah  agar Allah memberikan petunjuk kepada kita!”.

Kemudian secara bersama-sama kami membaca Al Fatehah dan seusai itu  Kiai Bendo meminta kepada ayah dan kiai muda untuk memecahkan telur ditangan masing-masing. Telur di tangan ayah dan sang kiai muda pecah dan isinya meleleh membasahi cawan untuk tempat telur-telur tadi.  Tibalah giliran Kiai Bendo memecahkan telur ditangannya. Maha Besar Allah, ternyata telur digenggaman Kiai Bendo matang dan oleh beliau dikupas kemudian diberikannya kepada saya untuk dimakan. Ayah dan sang kiai muda bertanya kepada Kiai Bendo ilmu dan hikmah apa yang ada dibalik peristiwa itu. Dengan senyum penuh kearifan beliau menjelaskan bahwa tadi saat sholat beliau merasakan bahwa sang kiai muda kurang mantap dan khusuk karena suara dan bacaannya yang terbata-bata dan napas yang agak tersengal-sengal. Beliau mengatakan bahwa Allah menilai manusia bukan dari tampilannya yang bagus tetapi dari tulus dan ikhlasnya untuk berserah diri kepadaNya. Dari saat menggenggam telur inilah dibuktikan bahwa Allah akan mendengar dan mengabulkan permohonan kita bila kita memiliki ketulusan untuk mengorbankan dan mengenyampingkan kepentingan kita bagi orang lain, alam dan lingkungan maka Allah akan ridha terhadap apa yang kita perbuat. Subhanallah, suatu pelajaran yang tak akan pernah kita temui di bangku sekolah atau di kehidupan di tengah masyarakat. Suatu pelajaran yang benar-benar langka dan jarang didapatkan !!

Dari hal diatas saya mendapatkan suatu pelajaran bahwa bukanlah kata-kata dari mulut dan bentuk tampilan kita yang dapat mengungkapkan jati diri kita tetapi kata hati kita yang bersih dan penuh kesungguhan (sincerity) menunjukkan siapa kita  yang sebenarnya. Jika hati kita bersih maka bersih pula pikiran kita. Dengan kebersihan pikiran itu maka akan bersih pula perkataan dan ucapan kita. Jika perkataan kita bersih (baik) maka akan bersih (baik) pula perbuatan kita. Hati, pikiran dan perkataan kita mencerminkan hidup kita. Maka orang yang ingin meraih sukses haruslah selalu menjaga kebersihan hati.

Karena manusia ditakdirkan sebagai makhluk yang mulia, maka secara naluriah dia akan selalu berusaha berbuat kebaikan dan kebajikan. Dan perbuatan itu sebagian besar diberikan secara ikhlas, yang kemudian dinikmati dan dirasakan oleh orang-orang lain dan orang banyak, yaitu orang-orang yang kita kasihi, sayangi dan cintai. Seorang ayah akan sekuat tenaga membanting tulang untuk mencari nafkah halal bagi keluarganya dan hasil jerih payahnya akan dinikmati dan dirasakan oleh keluarga yang dicintainya. Demikian pula bila seorang pemimpin berjuang. Dengan itu maka orang-orang tersebut menjadi “ pribadi yang bermakna “, yang senantiasa mereka rindukan kehadirannya. 

Mereka akan mewujudkan perasaan dan ekspressi bukan dalam bentuk kata-kata, sebab tidak ada satu katapun yang dapat mengungkapkan dan mewakili rasa hati mereka yang sebenarnya, yang penuh harap, penuh bangga, penuh kasih, sayang dan cinta, penuh terima kasih dlsb kepada kita. Cobalah rasakan ketika keluarga melepas kita saat kita harus bertugas lama ke luar daerah atau keluar negeri. Misalnya saat pasukan kontingen Garuda mau berangkat tugas ke luar negeri yang hampir memakan waktu setahun. Maka sorot  mata, cara memandang, cara menyambut, jabat tangan yang erat, pelukan yang hangat dan akrab, ciuman anak-anak, lambaian tangan dan berbagai hal lainnya adalah ungkapan perasaan dan hati mereka yang paling murni, yang tak bisa menipu apa yang ada di diri kita.          

Dengan apa yang kita lakukan maka kita akan dijadikan idola, panutan, kekasih bahkan pahlawan hati mereka.  Maka jagalah kepribadian anda agar tetap mulia, sebab bila harkat dan derajat anda jatuh karena anda melakukan kesalahan maka merekalah yang akan menerima dan merasakan dampak buruknya atau bahkan menghancurkan mereka. Lihatlah ke sekeliling anda, betapa banyak keluarga yang hancur karena pemimpin keluarga terlibat korupsi, narkoba dan berbagai hal buruk lainnya. Citra dan kehormatan diri dan keluarga yang bertahun-tahun dibina, hancur dalam sekejap mata saja. Semua karena disilaukan oleh kesenangan duniawi yang cuma sekejap dan menipu kita shingga kita lupa bahwa ada kehidupan lain yang lebih kekal dan abadi di surganya Allah. Apakah jabatan, kekuasaan, harta melimpah ruah dlsb dapat menyelamatkan kita dari kematian ? Apakah semua itu akan kita bawa ketika kita menghadap Allah, Sang Khaliq Pencipta kita ??

Dari ceritera diatas kita memiliki kata kunci yaitu :
Kata hati perlu didengarkan sebab merupakan  pedoman utama untuk membuat keputusan.
Keputusan yang kita ambil harus memberikan rasa lega dan nyaman kepada diri kita .
Hanya hati dan diri kita sendirilah yang  tahu dan dapat menjawab apa yang harus atau tidak kita lakukan dan apa yang kita butuhkan.

Kata hati yang tulus dan ikhlas akan membuka ridho dan rakhmat serta barokah Allah Swt.
Kekayaan harta dapat dilihat dan dirasakan oleh orang lain tetapi kekayaan jiwa, kita sendirilah yang memilikinya.

Hati nurani tak bisa bohong dan dari sini anda tahu apa yang anda rasakan, apa yang anda ingin dapatkan dan apa yang ingin anda perbuat.
Kunci Membuat Keputusan Yang Melegakan
Sebelum membuat keputusan adakan inventarisir hal-hal yang berkaitan dengan :
Apakah masalah utama yang sedang kita hadapi ?
Bagaimana keadaan situasi dan kondisi sekitar kita berkaitan dengan pekerjaan atau kehidupan saya yang mengharuskan saya menentukan sikap ?
Tindakan saya harus mencerminkan apa yang akan saya lakukan dengan apa yang telah saya ambil sebagai keputusan.
Saya mungkin saat ini belum melakukan sesuatu tetapi saya akan melakukan sesuatu walaupun saya belum yakin kapan atau apa yang akan saya lakukan
     Saya harus menuliskan langkah-langkah yang harus saya lakukan dan untuk itu ada jadwal yang  harus kuikuti.

Senin, 13 April 2020

MENCARI ALLAH


MENCARI TUHAN

Suatu siang, Abul Augus Alqomty terpana menyaksikan Abu Nuwas asyik berzikir di sebuah masjid di pinggir kota Baghdad.  Lelaki asal Distrik Qomty itu seperti ikut hanyut dalam gerak-gerik Abu Nuwas yang khusyuk berzikir sambil bersila. Ia terus memperhatikan Abu Nuwas yang matanya terpejam, mulutnya komat-kamit, jari-jemari tangannya menari-nari, dan tubuhnya bergerak ke kanan dan ke kiri seperti sedang menari Saman. ‘’Jangan-jangan dalam pejam matanya Abu Nuwas sedang melihat Allah,’’ gumam Abul Augus kepada dirinya sendiri. 

Cemburu pada Abu Nuwas yang diduganya sedang bercengkerama dengan Allah, Abul Augus memberanikan diri mengusik keasyikan pujangga Baghdad itu dari zikirnya. Pelan-pelan ia mendekat lalu duduk bersila tak jauh dari Abu Nuwas. Ia menunggu saat yang tepat untuk menyapanya. Benar saja, hampir setengah jam Abul Augus duduk menanti, Abu Nuwas akhirnya membuka mata dan menoleh pada Abul Augus yang tengah memandanginya dengan penuh takjub. 

‘’Tuan, saya perhatikan dari tadi Anda asyik sekali berzikir. Apakah sambil memejamkan mata, Tuan tadi melihat Allah?’’ kata Abul Augus membuka percakapan. 

‘’Allah tidak bisa dilihat, tapi kehadiran-Nya bisa dirasakan,’’ jelas Abu Nuwas perlahan.

‘’Apakah sekarang Allah di sini? Mengapa saya tidak merasakan kehadiran-Nya?’’

‘’Ya Anda harus menemukan Allah dulu biarpun sekali, barulah nanti Anda akan selalu bisa merasakan kehadiran-Nya di mana pun.’’

Abul Augus tersenyum girang. Sudah lama  ia mengembara mencari Tuhan tapi tak pernah menemukan-Nya. Sekarang ia bertemu Abu Nuwas  yang mengaku sudah menemukan Tuhan sekaligus merasakan kehadiran-Nya di mana saja ia berada. Abul Augus betul-betul gembira, seperti menemukan kunci yang hilang. ‘’Cepat beritahu saya di mana dan bagaimana saya menemukan Tuhan yang saya cari-cari,’’ sergahnya. 

Abu Nuwas tersenyum. Ia menyuruh Abul Augus salat dua rakaat lalu memintanya datang lagi kepadanya untuk menceritakan apa yang dirasakannya selama salat. Dari jawaban Abul Augus, Abu Nuwas akan tahu apa yang harus dilakukan tamunya ini untuk bisa menemukan Tuhan.  

 ‘’Tuan, terus terang, selama salat tadi saya lebih banyak melamun,’’ jawab Abul Augus polos saat ditanya apa yang ia alami selama salat tadi. ‘’Saya melafalkan semua bacaan salat, tapi pikiran saya menerawang ke mana-mana, terutama terbayang semua yang Anda lakukan barusan selama berzikir. Tepatnya, selama salat saya sebenarnya sedang cemburu pada Anda yang bisa asyik berzikir, sementara saya merasa hampa dengan zikir-zikir yang saya baca.’’ 

Abu Nuwas tersenyum. Ia membuat kesepakatan agar keduanya bertemu di Distrik Qomty untuk kemudian mulai mengembara mencari Allah. Dua hari kemudian, Abu Nuwas tiba di Qomty dengan setumpuk perlengkapan untuk perjalanan jarak jauh. Ia bertekad tak akan pulang dari mengembara sebelum Abul Augus menemukan Allah. 

Arah yang mereka tuju adalah pusat kota Baghdad. Di pusat-pusat keramaian pasti ada Allah untuk mengatur peran-peran kehidupan manusia dan rejeki setiap orang. Hanya saja, tidak semua orang bisa merasakan kehadiran Allah seperti yang sekarang dialami Abul Augus. 

Karena jarak antara Qomty dan Baghdad sangat jauh dan di antara keduanya terbentang padang pasir Um Jidir yang gersang dan terik, Abu Nuwas mengajak kawannya itu mengqashar dan menjamak salat. Jenis yang dipilih adalah jamak ta’khir. Itu artinya mereka tidak hanya akan mengurangi jumlah rakaat salat, tapi juga menggabungkan salat Zuhur dan salat Ashar di satu waktu, yakni di waktu salat Ashar. 

‘’Mengapa kita tidak salat jamak taqdim saja? Kita kan bisa melaksanakan salat Zuhur dan salat Ashar bersamaan siang ini di padang pasir ini?’’ tanya Abul Augus agak heran. 

‘’Mengapa Anda cenderung melaksanakan jamak taqdim ketimbang jamak ta’khir?’’ balas  Abu Nuwas. 

‘’Saya hanya khawatir, siapa tahu sebelum Ashar tiba kita dirampok penyamun di tengah jalan lalu mati terbunuh, padahal kita belum sempat salat Zuhur.’’  

Abu Nuwas tersenyum. ''Saudaraku Abul Augus, salat itu sesungguhnya berasyik-asyik dengan Allah. Salat tak boleh menjadi beban, bahkan semua syariat dalam Islam tak boleh menjadi beban. Karena itu tempat salat pun harus nyaman dan mengasyikkan. Jika kita salat di sini, pasir ini panasnya bukan main,’’ kata Abu Nuwas sambil kakinya menginjak-injak pasir.

 "Jidat Anda akan melepuh jika Anda sujud di sini dan itu berarti salat yang Anda laksanakan bukan hanya jadi beban, tapi juga membahayakan. Mari kita cari masjid di desa Oubaidy atau Ishbilya. Jika kita mati sebelum sampai di kedua desa itu, jangan khawatir, kita sudah berniat salat Zuhur. Baru berniat untuk salat saja Allah sudah tersenyum, apalagi jika kita benar-benar melaksanakan niat itu.’’

Abul Augus menganggukkan kepala lalu mengikuti Abu Nuwas melanjutkan perjalanan.  Ketika mereka menambatkan unta di halaman masjid di desa Ishbilya, serombongan musafir juga menambatkan unta mereka di taman yang sama. Namun, usai salat, Abu Nuwas dan Abul Augus melihat rombongan musafir itu tidak ikut salat. Abul Augus bertanya mengapa mereka tidak salat dan hanya duduk-duduk santai di taman. 

‘’Kami sudah salat jamak taqdim di desa kami. Jadi kami tak punya kewajiban lagi untuk salat Ashar,’’ kata ketua rombongan.
‘’Lalu mengapa Anda berhenti di masjid jika memang tak lagi wajib salat?‘’

'‘Beberapa ekor unta kami tampak kelelahan, jadi kami berhenti sebentar untuk membiarkan mereka beristirahat di taman masjid ini. Islam mengajarkan kami tidak berlaku zalim kepada semua makhluk, termasuk kepada unta-unta ini.’’  

Abul Augus sebenarnya kagum dengan jawaban ketua rombongan musafir, tapi untuk menambah keyakinannya, sekali lagi ia bertanya: ‘’Apakah Anda bersikap yang sama pada semua binatang?’’ 

‘’Jangankan kepada bintang, bahkan kepada pepohonan kami juga takut berbuat zalim,’’ tandas sang ketua rombongan. ‘’Bukankah seharusnya salat mencegah kita dari berbuat fahsya dan munkar? Untuk apa kita salat jika tetap berbuat fahsya dan munkar?’’ 

Abul Augus bertambah kagum. Dia pamit untuk melanjutkan perjalanan bersama Abu Nuwas. Di tengah perjalanan ia lebih banyak diam sambil mengendalikan untanya. Tampaknya ia tengah berusaha mencerna semua kalimat mutiara yang dilontarkan ketua rombongan musafir yang tadi dijumpainya. Abu Nuwas lalu memecah kesunyian dengan mengajaknya berdialog. Abul Augus bergairah dan kontan bertanya apa yang dipahami Abu Nuwas tentang ‘’fahsya’’ dan ‘’munkar’’. 

‘’Fahsya adalah semua perbuatan buruk yang tidak mengakibatkan kerugian langsung pada orang lain,’’ jawab Abu Nuwas tak kalah bergairah. ‘’Karena perbuatan fahsya yang dilakukan seseorang tak langsung memberi dampak buruk pada orang lain,  maka tak semua orang bisa segera mengenali nilai-nilai buruk yang dikandung dalam fahsya itu, lalu Allah memberitahu manusia tentang nilai-nilai buruk buruk tadi lewat ajaran agama-agama.’’ 

‘’Apa contohnya?’’ sergah Abus Augus antusias. 

‘’Contohnya perzinaan, homoseksualitas, atau mereguk minuman memabukkan. Saat dua orang berzina di sebuah kamar tersembunyi, atau melakukan hubungan badan sejenis di tengah hutan, tak ada orang lain di luar mereka dirugikan secara langsung. Karena tak ada korban jiwa akibat perbuatan mereka, banyak orang kemudian berdebat bahwa perzinaan atau hubungan badan sejenis adalah hak pribadi yang tak boleh diganggu. Inilah mengapa nilai-nilai buruk dalam fahsya tidak mudah dikenali oleh umat manusia, lalu Allah mengenalkan nilai-nilai buruk itu pada kita, umat manusia.’’

Abul Augus tertegun di atas untanya. 

‘’Sekarang bandingkan dengan perbuatan munkar,’’ lanjut Abu Nuwas. ‘’Munkar adalah perbuatan buruk yang mengakibatkan kerugian langsung pada orang lain, misalnya pencuriaan, perampokan, atau  pembunuhan. Karena semua perbuatan itu berdampak langsung pada orang lain, ada korban jiwa akibat perbuatan itu, maka nilai-nilai buruk yang terkandung di dalam kemungkaran gampang sekali dikenali. Seorang atheis yang tak beragama sekalipun percaya bahwa pembunuhan , perampokan, pencurian, semuanya adalah perbuatan buruk, perbuatan munkar.’’
Lelaki asal Qomty yang tengah mencari Tuhan itu benar-benar tertegun mendengar penjelasan Abu Nuwas. Hatinya berbunga, ada kunci ilmu pengetahuan di sampingnya, tapi dia belum juga menemukan Tuhan. Dari masjid di desa Ishbilya, kedua pengembara itu melanjutkan perjalanan menuju pusat kota Baghdad melewati Distrik Idrissi dan Distrik Mustansirya. Suka duka mereka lewati bersama selama delapan hari perjalanan menebus padang pasir yang terik.  

Di hari ke-13, sampailah keduanya di bibir kota Baghdad, kota yang sangat dikenal Abu Nuwas. Tapi dia heran, mengapa sejumlah jalan ditutup menuju pusat kota  itu. Dua pekan meninggalkan kota Baghdad, pujagga kesayangan Khalifah Harun Al-Rasyid ini tak tahu perkembangan berita. Setelah mencari jalan tercepat menuju pusat kota Baghdad, sampailah ia dan tamunya di alun-alun kota peradaban Islam itu. Rupanya ada ratusan ribu orang berkumpul di sana hendak melaksanakan salat dan inilah yang membuat sejumlah ruas jalan menuju pusat kota ditutup. Mereka sengaja berkumpul di alun-alun kota meski di samping tanah luas itu terdapat sebuah masjid yang sangat besar, yang dibangun oleh Bani Abbasiyyah. Nah, ke tengah kerumunan orang banyak itulah Abu Nuwas masuk lalu mengajak Abul Augus salat berjamaah. 

Tapi, usai salat berjamaah, kedua pencari Tuhan ini menyaksikan sejumlah orang naik ke atas panggung lebar, lalu dari sana satu per satu mereka berorasi. Beberapa orasi mereka ada yang menggunakan kalimat yang tak selayaknya diperdengarkan usai salat, berisi kritik sosial dan kritik politik terhadap khalifah. Abul Augus yang jarang berkunjung ke pusat kota Baghdad terheran-heran menyaksikan pemandangan ini. 

‘’Bagaimana, apakah sejauh ini Anda sudah menemukan Tuhan,’’ tanya Abu Nuwas pada rekannya usai mereka meninggalkan alun-alun kota. 

‘’Belum sepenuhnya,’’ jawab Abul Augus dengan nada suara agak masygul. ‘’Di alun-alun tadi bahkan saya merasa tidak salat, jadi boro-boro saya menemukan Tuhan.’’

Abu Nuwas pura-pura terkejut sebab dia tahu arah pembicaraan tamunya.  Dia biarkan Abul Augus meracau sendiri dari punggung untanya. 

‘’Saya baru saja mendengarkan penjelasan Anda tentang perbedaan fahsya dan munkar, lalu sekarang saya seperti mengalami apa yang tadi Anda lukiskan. Perhatikan, saat menuju pusat kota tadi kita benar-benar merasa kesulitan. Banyak jalan ditutup gara-gara ratusan orang mau salat di tanah lapang. Bukankah ini mirip definisi dan contoh munkar yang tadi Anda jelaskan?’’  

‘’Saya tak ingin buru-buru mengatakan apa yang mereka lakukan di alun-alun tadi adalah kemungkaran, siapa tahu mereka benar-benar berniat salat berjamaah,’’ sergah Abu Nuwas. 

‘’Benar, saya juga tidak mengatakan itu kemungkaran, toh isi hati dan niat setiap orang melakukan apa saja di muka bumi ini hanya Allah yang maha tahu,’’ jawab Abul Augus hati-hati. ‘’Tapi , gejala dan karakternya mirip dengan definisi dan contoh munkar yang tadi Anda jelaskan. Ada perbuatan dan ada pihak lain yang terdampak langsung. Saya tidak yakin tujuan salat yang Allah perintahkan kepada umat manusia adalah justru menyulitkan orang lain. Bayangkan, betapa sulit kita tadi mencapai pusat kota Baghdad akibat kerumunan orang-orang tadi,’’ jelas Abul Augus berapi-api. 

Abu Nuwas tak ingin melayani ajakan diskusi tamunya. Dia sedang mengantar tamunya menemukan Tuhan, bukan untuk bertengkar. Tapi, diam-diam sang pujangga senang, dari lontaran pikiran yang diungkapkan Abul Augus dia menilai tamunya telah menemukan pintu yang benar menuju penemuan Tuhan.  Jadilah Abu Nuwas makin bersemangat menemani Abul Augus berjalan jauh meninggalkan pusat kota Baghdad, hingga dua hari kemudian, sampailah keduanya di sebuah masjid kecil di pinggir gurun antara Khadra dan Abu Ghuraib. Tapi, saat menambatkan unta di halaman masjid, keduanya baru sadar bahwa bekal makan mereka sudah habis. Mereka bingung, apa yang bisa mereka makan di kampung kecil di tengah gurun seperti ini?

Di tengah kebingungan, tiba-tiba datang sekelompok kafilah ke masjid itu. Dari pakaian mereka yang kumal, juga unta-unta mereka yang tidak berpelana, mudah ditebak, mereka adalah kaum Badui miskin yang tampaknya melakukan perjalanan jauh dan melelahkan. Usai menambatkan untanya, kepala kafilah menghampiri dan memberi salam persaudaraan pada Abu Nuwas dan Abul Augus.  Dari pembicaraan yang singkat tapi hangat, kepala kafilah itu tahu kedua saudaranya yang baru ia temui ini sedang kelaparan di padang pasir tandus. Maka, tanpa basa-basi lagi, segera dia ambil makanan yang dibawa oleh kafilahnya lalu diserahkan pada keduanya. 

Awalnya Abu Nuwas menolak karena dia melihat makanan itu sesungguhnya juga bekal terakhir yang dibawa kafilah itu. Jika bekal ini mereka terima, nanti malam kafilah ini akan kekurangan makanan juga. Tapi, setelah kepala kafilah itu memaksanya, akhirnya Abu Nuwas menerima makanan itu bersama linangan airmata haru. Abul Augus bahkan lebih dulu meneteskan airmata. 

‘’Mengapa Anda berikan makanan ini pada kami padahal bekal makanan Anda juga menipis sementara perjalanan Anda masih jauh,’’ tanya Abul Augus. 

‘’Saudara lupa, saya bukan sedang mengurangi bekal makanan kafilah yang saya pimpin, tapi justru sedang menambahnya,’’ kata ketua kafilah itu bersemangat. 

‘’Bagaimana bisa?’’ sergah Abul Augus tak habis pikir. 

‘’Saudara ingat, pertama, Allah memerintahkan kita bersedekah dalam kondisi sempit maupun lapang dan Ia senang dengan apa yang kita kerjakan ini.  Kedua, bukankah Allah juga yang berjanji, jika kita bersedakah satu, Ia akan mengganjarnya dengan 700 kali lipat. Bayangkan, sekarang saya memberi Anda berdua dua kantong gandum ini, nanti akan datang 700 kantong gandum ke punggung unta-unta kami.’’ 

‘’Bagaimana Anda yakin? Bagaimana seandainya 700 kantong gandum itu tidak datang dan Anda semua mati kelaparan?’’ cecar Abul Augus. 

‘’Sekali Anda yakin bahwa Allah ada di samping Anda, jangan pernah meragukan kemampuan-Nya membagi-bagi rejeki. Buktinya Anda berdua sekarang sedang kelaparan di padang pasir, Allah tetap mengirimkan rejeki-Nya buat kalian dengan mengutus kami datang ke masjid ini,’’ kata kepala kafilah sambil menepuk-nepuk dada Abul Augus. ‘’Lagi pula, kalaupun benar 700 kantong gandum atau apa pun rejeki yang Allah akan lipatgandakan itu tidak datang pada kami nanti malam atau besok pagi, itu artinya kami semua akan mati. Jika itu yang terjadi, saya akan lebih berbahagia lagi. Itu berarti Allah yang kami yakini selalu ada di samping kami akan kami jumpai dengan sepenuh keyakinan dan kebahagiaan … ‘’ 

Sang kepala kafilah balik badan menuju kafilahnya lalu melahap perbekalan terakhir mereka, sementara Abu Nuwas dan Abul Augus makan pemberian mereka sambil meneteskan airmata. Ketika senja tiba, kafilah itu mohon pamit menembus padang pasir di hadapan mereka, sementara Abu Nuwas dan rekannya mengantar mereka dengan sejuta syukur dan sukacita. Ketika gelap mulai merambat, Abu Nuwas mengajak kawannya segera melanjutkan perjalanan tapi Abul Augus menolak. 

‘’Kita bermalam di masjid ini saja dan besok kita kembali ke rumah masing-masing.’’ 

‘’Lho, bukankah kita masih harus mencari Tuhan?’’

‘’Tidak, saya sudah menemukan Allah, Tuhan yang selama ini hilang dari saya tapi Anda nikmati keberadaan-Nya dalam zikir-zikir Anda,’’ jelas Abul Augus dengan nada yakin. 

Abu Nuwas hanya terdiam. 

‘’Sebetulnya, ketika di awal perjalanan Anda memilih jamak ta’khir dengan mengatakan salat harus mengasyikkan, dengan salat seseorang tak boleh tersiksa atau menanggung beban, saya hampir menemukan Tuhan. Allah menurunkan syariat agama pasti untuk membahagiakan semua hamba-Nya, bukan untuk mempersulit mereka. Ketika kafilah pertama yang kita temui menunjukkan kepedulian mereka pada unta-unta yang kelelahan berkat salat mereka, saat itu saya sebenarnya telah berjarak lebih dekat pada Tuhan yang saya cari. Ketika saya tak merasa bahagia dengan salat berjamaah di alun-alun karena apa yang kita lakukan itu justru membuat orang lain sengsara atau menghalang-halangi aktivitas mereka, sesungguhnya saya merasa tengah diajarkan makna dan tujuan salat yang sesungguhnya. Tujuan salat itu menyelamatkan kemanusiaan, bukan malah melenyapkannya.’’

Abu Nuwas masih terdiam.

‘’Saudaraku Abu Nuwas, sore ini adalah puncak saya menemukan Allah.  Sedekah di tengah kemiskinan yang dilakukan kafilah Badui itu pada kita sore ini adalah inti dari tujuan salat yang sesungguhnya, yakni menjaga kemanusiaan. Tanpa pemberian mereka mungkin malam ini kita sudah mati kelaparan. Salat yang mereka lakukan membuat mereka yakin kemanusiaan harus dijaga di mana pun mereka berada, bukan malah melenyapkan kemanuisan itu sendiri. Sekarang saya tambah paham mengapa Allah memerintahkan kita salat. Allah tak butuh salat manusia karena Allah adalah Tuhan yang maha kaya, tak membutuhkan apa pun. Kalaupun Ia perintahkan manusia melaksanakan salat, itu karena manusia memang butuh salat yang dengannya mereka menjadi makhluk spiritual yang terus terpanggil untuk menjaga dan menjunjung tinggi kemanusiaan.’’ 

Kini Abul Augus memimpin perjalanan. Dia sudah menemukan Tuhan. 

Semoga bermanfaat

Jumat, 27 Maret 2020

Hidup Mengalir Dengan Multi Skenario





“Aku sih hidup mengalir saja… ,” demikian celetuk  seorang  teman.
“Ya.. kalau mengalir tanpa terkendali  itu namanya HANYUT…,” tukas saya  menimpali teman tersebut.
Kebanyakan  orang hidup mengalir mengikuti irama jaman. Kebanyakan orang pula  bertanya-tanya kenapa hidupnya tak juga maju?
Suatu ketika, dalam sebuah pelatihan tentang analisis kompetitor di PT Telkom, kami membahas tentang pentingnya Scenario Planning bagi sebuah perusahaan. Diskusi tersebut sangat seru  dan intens,  mengingat selama ini seringkali hanya ada satu perencanaan  tunggal yang menjadi  target perusahaan di awal tahun.
“Scenario Planning bukan ditujukan untuk meramalkan masa depan. Tujuan sesungguhnya  adalah untuk mengantisipasi berbagai keadaan yang mungkin terjadi…,” demikian kami jelaskan kepada peserta, mengutip pendapat Michael Porter dalam bukunya Competitive Advantage, mengenai kegunaan scenario  planning.
Mengantisipasi, itu adalah sikap yang lebih tepat daripada sekedar ‘meramalkan’ masa depan. Bila meramalkan, maka kita membuat perkiraan hal apa yang paling mungkin terjadi. Sedangkan mengantisipasi berarti membuat berbagai gambaran kemungkinan yang bisa terjadi, kemudian mengambil strategi untuk bersiap terhadap semua yang mungkin terjadi  tersebut. Dan itulah tujuan utama  scenario planning.
Scenario  Planning sendiri mulai populer di tahu 70-an ketika terjadi krisis harga minyak dunia yang tiba-tiba melambung tinggi. Saat itu bukan tidak ada minyak, tapi harga minyak melambung karena krisis politik  di Timur Tengah. Shell, adalah perusahaan minyak yang telah menerapkan  scenario planning. Di awal  tahun 70-an, Shell membuat berbagai  skenario yang mungkin terjadi, salah satunya adalah melambungnya  harga minyak dunia, suatu kondisi yang jauh dari ramalan kebanyakan para ahli ekonomi saat itu. Dan ternyata kejadiannya adalah sesuatu yang berbeda dari kebanyakan ramalan, harga minyak melambung menyebabkan kelesuan ekonomi dunia. Shell, yang sudah menyiapkan diri dengan berbagai skenario tersebut mampu memanfaatkan keadaan, sehingga  melejit menjadi 3 besar dunia. Perusahaan lain yang beruntung dalam kondisi krisis minyak saat itu  adalah perusahaan-perusahaan mobil Jepang yang sukses memasarkan mobil ukuran kecil bagi pasar Amerika (salah satunya adalah Honda Civic berukuran kecil, yang tadinya dipandang skeptis akan dibeli orang Amerika).
Hidup mengalir? Itulah yang terjadi pada sebagian besar orang (dan sering berakhir menyedihkan). Sebenarnya mereka bukan tanpa rencana, namun rencana mereka tak sesuai dengan kenyataan. Jadilah mereka terhanyut oleh kehidupan. Misalnya seorang mahasiswa, biasanya dia sudah membayangkan (punya cita-cita/mimpi) bahwa nanti setelah lulus dia akan bekerja di suatu tempat dengan gaji besar, menikah dengan idamannya dan punya anak, dan begini, dan begitu seterusnya. Apa yang terjadi? Kebanyakan mimpinya tak juga terwujud. Setiap hari masih naik angkutan yang sama, pergi dan pulang pada jadwal yang  sama, dan merasakan hidupnya yang sama, tak juga maju-maju. Lebih celaka lagi sering kondisi berubah mendadak menyebabkan semua rencana kacau balau dan akhirnya hanya bisa pasrah menjalani  hidup. Itulah contoh kebanyakan hidup yang  mengalir.
“Ya kalau mengalirnya ke laut, kalau mengalirnya ke comberan… ?” gurau saya kepada teman. Maksudnya adalah, ya kalau dalam hidup ini –yang kita mengalir di dalamnya- ternyata betul membawa kita ke kondisi yang sesuai harapan dan mimpi kita (kerja keras,  naik jabatan dan naik gaji, anak-anak tumbuh cerdas, keluarga  bahagia, bisa haji dan keliling eropa, dll) tentu kita senang. Bagaimana kalau sebaliknya? Sikut-sikutan di kantor, krisis ekonomi lagi,  sekolah makin mahal, PHK, dll. Tentu hidup yang mengalir itu akan berakhir di comberan. Ini namanya  tragedi.
Yang betul adalah hidup mengalir dengan terkendali. Ibaratnya kita sedang main arung jeram menyusuri sungai, maka kalau kita menggunakan perahu karet yang baik, dengan dayung untuk kendali, bahkan dengan helm dan jaket pelampung, tentunya jauh lebih terkendali dibandingkan kita terjun ke sungai tanpa perahu karet, tanpa dayung, tanpa jaket pelampung. Menyiapkan diri dengan rakit,  dayung, dan jaket  pelampung itulah sikap seorang yang hidup dengan kendali. Kita tidak mampu mengendalikan arus sungai, namun kita selalu mampu mampu untuk mengambil sikap mengendalikan perahu kita.
Nah, kembali  ke pelatihan analisa kompetitor di Telkom tadi, kesimpulan kami  adalah sangat penting bagi perusahaan untuk menyiapkan multi skenario,  bukan sekedar skenario tunggal. Dengan adanya multi skenario itu dapat dirancang strategi yang adaptif dan mampu mengatasi apapun skenario yang akhirnya terjadi.  Berpegang hanya pada skenario tunggal menjadi sangat riskan mengingat perubahan politik, ekonomi, maupun teknologi di masa global ini bisa terjadi dengan sangat cepat.
Tiba-tiba terpikir dalam benak saya, bagaimana dengan skenario untuk diri kita sendiri? Apakah kita sudah punya multi skenario untuk masa depan? Bagaimana kalau karir kita tak berjalan mulus seperti yang kita bayangkan? Bagaimana kalau kondisi berkembang ke arah yang  berlawanan dengan apa yang kita harapkan? Apakah  kita sudah siap?
Bagaimana  dengan tahun 2007 ini? Apakah ramalan mereka yang optimis itu benar terjadi (bahwa ekonomi Indonesia akan membaik, karena kondisi makro 2006 katanya sih baik)? Atau justru ramalan mereka yang pesimis lah yang terjadi (banyak bencana, krisis ekonomi global,  ekonomi riil yang stagnan, banyak PHK)? Ah, mudah saja. Kita ambil saja semua ramalan itu menjadi multi skenario. Ada skenario positif optimis, dan ada yang negatif pesimis. Kemudian ambil beberapa strategi yang bisa mengantisipasi semua kemungkinan itu.
Jadi apa  multi skenario Anda? Apa yang Anda rencanakan andai ekonomi membaik dan bisnis Anda juga ikut melejit? Bagaimana pula kalau ekonomi membaik, sayangnya bisnis Anda tidak termasuk yang beruntung menikmatinya, apa strategi Anda? Bagaimana pula kalau kondisi memburuk, peluang apa yang akan muncul dan bisa Anda manfaatkan? Bagaimana kalau kondisi memburuk dan bisnis Anda pun memburuk, apa persiapan (jaga-jaga/tabungan) yang sudah Anda lakukan? Bagaimana  pula skenario hidup masa depan Anda, apakah sudah punya beberapa pandangan (atau hanya skenario tunggal yang –maunya- bagus-bagus dan sukses saja)? Bagaimana kalau karir melejit, dan bagaimana pula kalau karir ternyata anjlok?  Bagaimana kalau kesehatan selalu bagus, bagaimana pula bila terjadi musibah? (Bahkan  bagaimana kalau semua mimpi indah itu kandas karena ternyata kita mati muda, misalnya, sudahkah kita siap?)
Skenario  planning tampaknya layak kita terapkan buat kita sendiri, bukan  hanya untuk perusahaan kita. Tentunya biar kita menjadi lebih  bijak dan penuh  kendali saat ikut mengalir dalam kehidupan ini.
=  = =
What is scenario planning?
‘‘An internally  consistent view of what the future might turn out to be—not a  forecast, but one possible future outcome.’’ Porter, M. Competitive  Advantage
Scenarios provide alternative views of the future.  They identify some  significant events, main actors and their motivations,  and they convey how the  world functions. Building and using scenarios  can help us explore what the  future might look like and the likely  changes of living in it. Shell.com
Kembali ke judul pertama

Berfikir Beda dan Berfikir Plus



Filed  under: Kecerdasan  Emosi, Kecerdasan  Power,
Kecerdasan Intelektual, Kiat, Topik Personal
Imam Mucharror

“Kalau saya sih beda! Menurut saya sebaiknya … bla..  bla.. bla….”
Pernahkah Anda bertemu orang yang selalu  berpikir beda dengan Anda (juga  hampir semua orang lainnya)? Mula-mula  kita kagum, tapi lama-lama jengkel juga.  Rasanya hanya pendapat  dia itu yang benar, sementara pendapat orang lain itu  tidak benar,  atau paling tidak pasti ada cacatnya. Jadi, berpikir beda itu baik  atau buruk?

Think different.
Itulah  slogan perusahaan komputer Apple saat meluncurkan bentuk komputer  yang  beda di akhir tahun 90-an. Komputer yang lazim saat itu adalah  sebuah kotak CPU  (Computer Processing Unit) yang terpisah dari  monitor tabung. Apple bikin yang  beda, komputernya berupa sebuah  monitor dengan bagian atas yang bening sehingga  terlihat komponen  di dalamnya. Mana kotak CPU nya? Nggak ada, karena ternyata  CPUnya  sudah ditempelkan di bagian bawah monitor tersebut, menyatu sehingga  tidak terlihat. Komputer iMac ini laku keras luar biasa, dan membuat  perusahaan  Apple kembali diperhitungkan di pasar PC.
“Jadi  berpikir beda itu perlu?” Tunggu dulu.
Apple  berbeda dengan perusahaan lainnya. Namun andai Anda adalah karyawan  Apple saat itu, bisakah Anda berpikir beda? Belum tentu. Paling  tidak Anda harus  ikut kemauan pimpinan di Apple yang waktu itu  adalah Steve Jobs, seorang  visioner yang juga otoriter dalam menerapkan  visinya. Kalau Anda beda dengan  dia, siap-siap saja untuk ditendang  keluar. Apple itu berpikir beda dari  perusahaan komputer lainnya,  tapi berpikir sama di dalam perusahaannya.
“Jadi kapan  kita perlu berpikir beda?” Nah, ini baru pertanyaan yang  benar.
Kita  perlu berpikir beda bila kita berada dalam suasana bebas sederajat,  dimana semua perbedaan mendapat penghargaan sama. Biasanya suasana  ini ada dalam  proses kreatif (brainstorming misalnya), proses  penciptaan. Selain itu : jangan  berpikir beda!
Believe  me, berpikir beda di suasana selain suasana kreatif ternyata  berakibat  tidak menguntungkan. Secara alami, tidak ada manusia yang menyukai  perbedaan. Pepatah mengatakan, “Birds  of a feather flock together.” Burung dengan bulu yang  sama kumpul  bersama. Kalau Anda sering beda dengan rekan-rekan  Anda, pelan tapi pasti Anda  akan disingkirkan. Dan itu yang saya  lihat dari pengalaman selama ini. Apalagi,  kalau Anda sering berbeda  dengan atasan Anda terutama di rapat-rapat. Mungkin  beliau hanya  tersenyum pada Anda, dan besoknya Anda dipindahtugaskan. Kita bisa  berbeda dengan kompetitor, tapi harus sama dengan grup kita.
Loh,  bukannya buku-buku menyarankan agar kita berpikir beda? Bukankah  guru-guru manajemen juga menyarankan agar perusahaan menumbuhsuburkan  iklim beda  pendapat? Justru itu. Karena beda pendapat itu bukan  hal yang alami, maka  guru-guru manajemen berteriak-teriak agar  perusahaan menghargai perbedaan.
Berbeda itu tidak alami.  Sayangnya persis sama juga tidak alami!
Semua yang persis  sama tidaklah alami. Lihatlah diri kita, semua memiliki  keunikan  masing-masing. Kalau kita semua sama, maka kita justru menjadi lemah.  Kalau semua daun warnanya sama, dunia akan membosankan.
Jadi  bagaimana? Ini solusinya : kita menyukai yang sedikit berbeda!
Daun  yang beragam namun memiliki kesamaan. Seni yang beda namun dalam  kelompok jenis yang sama. Musik beda namun dalam genre yang sama.  Praktisnya,  yang suka musik rap tidak suka musik jazz, demikian  pula sebaliknya. Namun yang  suka rap mungkin masih bisa menerima  pop, demikian pula yang suka jazz masih  mentolerir pop. Karena  musik pop seakan di tengah-tengah, menjembatani rap dan  jazz yang  ekstrim berseberangan.
Jadi, alih-alih kita berpikir beda,  maka sebaiknya kita pakai ini saja :  BERPIKIR PLUS. Sebuah cara  berpikir lebih atau berpikir tambah.

Think Plus.
Berpikir  tambah menuntut cara yang sama sulitnya dengan berpikir beda. Dalam  berpikir plus mula-mula kita harus mampu melihat sisi positif  dari pendapat  orang lain, lalu kita tambah pendapat itu agar lebih  sempurna. Tambahan ini bisa  berupa sesuatu yang memperkuat efek  positif dari pendapat orang lain itu, atau  berupa sesuatu yang  menutupi kelemahannya. Berpikir plus ini ibarat bermain  catur  dimana kita harus meneruskan langkah yang sudah diambil orang lain.  Kita  biarkan langkah yang sudah diambil (karena itu hak dia misalnya),  kalau langkah  itu bagus maka kita tambah dengan langkah yang lebih  menajamkan untuk menyerang,  namun bila langkah itu lemah maka  kita tambah dengan langkah memperkuat posisi  sebagai antisipasi.  Berpikir plus adalah menambah dari sesuatu yang sudah ada  agar  menjadi semakin berkualitas.
Lihatlah kembali desain komputer  Apple, sebenarnya tidak secara radikal  berbeda dengan komputer  lainnya. Masih terlihat komputer, bukan? Apple masih  waras untuk  menciptakan barang baru yang tidak terlalu aneh, karena aneh bisa  berakibat ditolak pasar. Mobil juga ada berjenis-jenis, tapi masih  punya  karakteristik sama. Artinya, bahkan desain yang beda - dan  terbukti diterima  pasar - pun ternyata tidak bisa lepas dari kesamaan.  Bayangkan kalau Anda bikin  komputer dengan bentuk dinosaurus atau  mobil dengan bentuk mentimun, mungkin  hanya sedikit orang yang  akan memakainya, alias Anda hanya akan diterima  kalangan eksentrik.  Saya jadi ingat kisah sepeda motor skuter (Scooter) Vespa.  Itu adalah desain sepeda motor radikal oleh seorang desainer pesawat  terbang.  Walhasil, desain skuter mendahului jamannya. Selama 50  tahun dunia sepeda motor  didominasi oleh jenis sepeda motor bebek.  Pengguna skuter masuk kelompok  eksentrik. Hingga akhir-akhir ini  barulah desain skuter mulai mempengaruhi motor  bebek yang kian  lama kian menjadi desain bebek matic. Demikian pula dengan Anda  di perusahaan, kalau Anda betul-betul radikal berbeda, maka Anda  akan menjadi  kelompok minoritas di pojok dan harus menunggu angin  berubah agar muncul ke  permukaan. Itupun syukur-syukur kalau arah  angin memang akan berubah.
Berpikir plus. Tambahin pendapat  orang lain agar menjadi lebih sempurna.  Letak ‘berpikir beda’  kita tempatkan pada kemampuan menemukan hal yang dapat  menambah  kesempurnaan usul orang lain.
Saya kutip di sini sebuah  cerita yang disampaikan Stephen Covey, penulis buku  Seven Habits.  Suatu ketika saat memberikan konsultasi, Covey melihat suatu  kejadian  di sebuah kantor dimana pimpinannya sangat otoriter. Banyak karyawannya  tidak puas, dan kebanyakan membicarakan yang buruk tentang si  bos itu. Namun ada  seorang karyawan, katakanlah namanya Ben, mempunyai  sikap berbeda dengan  rekannya yang lain. Ben adalah orang yang  pro aktif. Ketika rekan-rekannya  menjauhi pimpinan tersebut, Ben  justru berusaha mendukung dengan cara yang  positif. Setiap tugas  yang diberikan kepada Ben dikerjakan dengan baik. Lebih  jauh dari  itu Ben selalu ‘menambah’ dengan analisis tambahan yang ternyata  memang diperlukan oleh pimpinan. Ben senantiasa berpikir plus,  memberikan lebih  dari yang diminta. Lama-kelamaan pimpinan tersebut  makin percaya dan makin  bergantung kepada Ben. Kalau biasanya  dia memutuskan sendiri, maka kini dia  meminta pertimbangan dari  Ben. Beberapa tahun kemudian Ben menggantikan bos  tersebut untuk  memimpin perusahaan. Dalam cerita itu tampak bahwa walaupun  mungkin  Ben tidak setuju seperti rekan lainnya, namun dia bertindak pro  aktif  dan menggunakan cara berpikir plus untuk mendukung pimpinannya.  Dengan  menggunakan sikap pro aktif berarti dia memberdayakan kecerdasan  emosinya (EQ),  dengan berpikir plus berarti menggunakan kecerdasan  intelektualnya (IQ), dan  dengan tetap mendukung pimpinannya berarti  dia menggunakan kecerdasan powernya  (PQ).
Berpikir plus.  Itulah usul saya bila Anda sekarang adalah bawahan yang masih  senang  di tempat Anda bekerja sekarang. Kalau Anda ternyata seorang bos  yang  tidak punya atasan? Ya bebas saja silahkan menurut Anda.  Untuk level bos, Anda  bebas untuk berpikir beda atau bahkan tidak  berpikir sama sekali.