KONSEP PENDIDIKAN IBNU MISKAWAIHI



A.   Biografi
Nama Lengkapnya Abu Ali Al-Khazin Ahmad ibn Muhammad ibn Ya'kub dikenal dengan gelar Ibnu Miskawaihi. Wafat pada tanggal 9 Safar 421 H., Dia berdarah Pcrsi yang liidup lumbuh dan bericembang di tcngah-lcngah masyarakat elite Arab. Memang orang Persi pada masa mula perkembangan Islam banyak yang menjadi pejabat pemerintahan Arab Islam. Diantaranya adalah Abu Muhammad Abdullah ibnu Maqaffa' wafat tahun 142 H. Orang Arab dalam menyelenggarakan pemerintahan mengangkat orang-orang Persi yang mcmang mereka itu pilih tanding dalam intelektual, penguasaan ilmu bahasa, hikmah dan sejarah. Ibnu Miskawaihi salah seorang intelektual mereka, pakar dalam ilmu sejarah, banyak melahirkan karya tulis.[1]
Betulkah dia seorang Majusy lalu kemudian masuk Islam? Seperti dikalakan Yaqut dalam kitabnya Mu'jamul Adibba, diikuti pula olch Jurji Zaidan dalam bukunya Tarieh Al Adabii Arabiyah dan Lutfi Jum'ah dalam Tarich Falasifatil Islam. Dr. Yusuf Musa dengan tcgas menolak pendapat ini. Tidak mungkin katanya, orang bisa masuk Islam tetapi pemikirannya demikian luas seperti niosof-filosof Islam lainnya. Yang benar barangkali neneknya beragama Majusy kemudian masuk Islam.[2]
Demikian pula dilihat dari nama bapaknya "Muhammad" menunjukkan bahwa dia seorang muslim. Mungkin dulu ayahnya beragama Majusy lalu masuk Islam dan mengambil nama Muhammad.[3] Apakah Miskawaihi atau Ibnu Miskawaihi laqob (gelar) yang diberikan kepada Abu Ali Ahmad Ibnu Muhammad ini? Miskawaihi adalah nama rumpun keluarga (trah).[4] Dr. Yusuf Musa memilih Miskawaihi, berdasarkan nama yang diberikan oleh sejarawan-sejarawan Islam yang sezaman dengan Ibnu Miskawaihi seperti Abu Hayyan at Tauhidy, Yaqut dll.
Dia dilahirkan di Ray, sebuah kola sebelah Selatan Teheran pada tahun 330 H. Dia hidup pada zaman daulah Bani Buaihi (334-447 H) yang berkuasa di Bagdad. Di bawah pemerintahan inilali dia bckerja dengan para wazir dan amir. Pertama kali dia bekerja pada wazir Al-Mahallabi ibn Abi Shafrah tahun 348 H, sebagai sekretarisnya. Setelah wazir ini wafat dia kembali ke Ray dan bekerja menjadi kepala perpustakaan wazir Ibnu Amid. Setelah wazir ini wafat tahun 360 H, dia terus bekerja dengan puteranya sampai fitnah menimpanya dan akhirnya masuk penjara pada tahun 366 H. Sesudah itu dia bekerja lagi di perpustakaan Adludullah ibn Buaihi. Disinilah dia mendapatkan ketenteraman dan kenyamanan dalam hidupnya.
Demikianlah Ibn Miskawaihi beipindah-pindah mengabdi dari satu pejabat ke pejabat tinggi lainnya, di dalam pemerintahan Bani Buaihi sampai wafatnya (ahun 421 H di Asfalian dalam usia 91 lahun.[5] Dalam tulisan ini saya ingin menyampaikan beberapa pokok pikiran Miskawaihi tentang pendidikan yang mampu saya rekam dalam karyanya Tahzibul Akhlak.

A.   Pendidikan
Cita-cita pendidikan sebagaimana yang dimaksudkan Miskawaihi diisyaratkannya dalam awal kalimat kitab Tahzibul Akhlak ialah terwujudnya pribadi susila, berwatak yang lahir daripadanya perilaku-perilaku luhur, atau katakanlah berbudi pekerti mulia. Dari budi (jiwa/watak), lahir pekerti (perilaku) yang mulia. Untuk mencapai cita-cita ini haruslah melalui pendidikan dan untuk melaksanakan pendidikan perlu mengetahui watak manusia atau budi pekerti manusia.

1.    Apakah watak itu dapat dididik?
Ibnu Miskawaihi dalam maqalah kedua membahas tentang al-Khulq (watak) itu ialah suatu kondisi bagi jiwa yang mcndorong untuk melahirkan tingkah laku tanpa pikir dan pertimbangan (tingkah laku spontan). Kondisi ini terbagi dua. Ada yang alami dari asal mizaaj (temperament) seperti sifat pada seorang manusia yang mudah terpengaruh/bereaksi olch sualu hal yang sederhana. Umpama dia jadi marah discbabkan suatu faktor yang kecil, atau jadi takut sebab yang Sederhana dan. lain-lain seperti mudali kaget karena dengan suara gemerisik, mudah sedih, mudah senang, mudah tertawa disebabkan hal perangsang yang scderhana.
Kedua ialah watak seorang yang diperolch dari kebiasaan/latihan yang bcnilang-ulang, pada mulanya perilaku itu diserlai kesengajaan atau pikiran kemudian berkelanjutan berulang-ulang hingga menjadi kebiasaan watak. Karena itu kata Miskawaihi para ahli jaman dahulu berbeda pendapat. Sebagian mereka mengatakan bahwa watak itu adalah tertentu bagi kekuatan jiwa sclain kekuatan jiwa natiqah. Sebagian lain mengatakan ada juga aspek dari kekuatan jiwa natiqah pada watak itu. Perbedaan kedua adalah apakah watak itu alamy. Sebagian mengatakan watak itu alamy tak dapat dirubah. Sebagian lain mengatakan tak ada sesuatu pun pada watak itu yang alamy.
Kami sendiri, kata Miskawaihi - tidaklah berpendapat watak itu tidak alamy. Kila diciplakan alas dasar menerima watak, namun kita berubah bcrkat pendidikan dan pengajaran cepat atau lambat. Pendapat lerakhir inilah pilihan kami karena sesuai dengan kesaksian mata kita. Pcndapat pertama (yang mengalakan watak itu alamy dan tak dapat dididik) mcnyampingkan kekuatan tamyiz (penalaran) serta akal dan menoiak segala upaya serta membiarkan manusia tidak beradab, melanlarkan para remaja dan anak-anak tanpa pendidikan.[6]
Kemudian Miskawaihi mengemukakan pcndapat golongan Ruwwaqiyyun (Stoicism), Jalinus (Galer, 131-201 SM) dan pendapat Arisloteles tentang watak manusia. Golongan Rawwaqiyyun berpendapal bahwa watak itu dasrnya baik, kemudian karena pengaruh pergaulan watak yang baik itu menjadi buruk. Sedang Jalinus berpen­dapat bahwa sebagian watak manusia pada dasrnya (alamy) jahat, sebagian lagi mengatakan watak itu dasarnya baik, diantara mereka ada pula yang mengalakan dasar watak itu tengah-tengah antara baik dan buruk. Mereka yang wataknya baik alamy sedikit; mereka tidak akan berubah menjadi buruk. Sedang mereka yang wataknya buruk alamy banyak, mereka tidak akan berubah menjadi baik. Mereka yang wataknya bcrada di tcngah-tcngah diantara baik dan buruk dapat berubah menjadi baik jika mcndapat pengaruh pendidikan yang baik dan berubah menjadi buruk jika mcndapat pengaruh pendidikan yang buruk. Kemudian Miskawaihi mcngutip pendapat Aristoteles yang dijadikannya pegangan.
Menurut Arisloteles orang jahat/watak buruk dapat berubah dengan pendidikan namun tidak mutlak. Pengajaran dan pendidikan yang berkelanjutan serta bimbingan yang baik yang diupayakan manusia tentulah akan memberi pengaruh yang berbeda-beda terhadap bermacam-macam orang. Ada diantara mereka yang menerima pendi­dikan dengan cepat scdang sebagian yang lain menerimanya dengan lambat untuk menuju keutamaan.
Pada watak terdapat aspek temperament (perangai). Temperament ialah konstitusi jiwa yang berhubungan erat dengan konstitusi tubuh. Arti sebenarnya perkataan temperament ialah campuran (bahasa Arab Mizaaj).
Temperament adalah pembawaan yang bergantung kepada konstitusi tubuh. Kemungkinan mengubah atau mendidik temperament hanyalah sedikit sekali, karena dalam temperament terdapat unsur-unsur yang tidak dapat dipengaruhi kemauan. Adapun watak adalah keadaan atau konstitusi jiwa yang nampak dalam perbuatan-perbuatannya. Watak bergantung kepada pembawaan dan lingkungan hidup (pergaulan hidup, pendidikan). Jadi watak bergantung kepada kekuatan dari dalam dan dari luar. Begitulah karakter (watak) lebih luas dari temperament. Temperament terdapat dalam karakter. Karakter dapat diubah dan dididik.[7]

2.    Perbedaan Individual
Ibnu Miskawaihi mengemukakan bahwa manusia dalam menerima pendidikan bermacam-macam tingkatan. Hal demikian mudah disaksikan pada anak-anak, karena watak mereka nampak wajar scjak mula perkembangan, terbuka apa adanya tidak diselubungi dengan pikiran-pikiran dan pertimbangan-pertimbangan sebagaimana halnya orang dewasa yang memahami apa yang bunik bagi dirinya lalu ditutup-tutupinya dengan bermacam-macam tipu muslihat dengan perbuatan-perbuatan yang bcrlawanan dengan perangainya itu.
Kita mengetahui dari watak anak serta kesiapan mereka dalam mene­rima didikan ada diantara mereka yang kasar ada pula yang pcmalu. pemurah, kikir, penyayang, keras, dan sebagainya. Kebermacaman itu kita lihat pula pada orang-orang dewasa dalam menerima didikan budi pekerti utama. Bila kita abaikan peibedaan-perbedaan watak individual ini lalu tidak kila didik sebagaimana mestinya, maka tiap orang akan tumbuh sesuai dengan watak individualnya itu, mungkin dia tumbuh jadi baik atau buruk. Maka disinilah pentingnya pendidikan agama (pendidikan normative). Agamalah yang dapat meluruskan anak-anak dan mendidik mereka dengan perilaku yang terpuji dan mempersiapkan jiwa mereka untuk me­nerima "hikmah".
Tanggung jawab orang tualah pelaksanaan pendidikan agama ini dengan pelbagai upaya, katau perlu mempergunakan ancaman hukuman sampai mereka terbiasa hidup beragama.[8]

3.    Metode Alamy (Thariqun Thabi-iy) dalam Pendidikan
Sctelah menguraikan perbedaan individual manusia dan diperlukannya pendidikan untuk membina perkembangan individual itu, Miskawaihi kemudian mengemukakan penggunaan thariqun thab'iyyun (metode alamiyah) dalam mendidik.
Katanya: Dalam pentertiban pelaksanaan pendidikan budi pekerti dengan cara langkah demi langkah menuju kepada kesempurnaan terakhir, manu­sia mempunyai metode alaminya yang menyempai perilaku aiam.
Metode alamiyah itu bertolak dari pengamatan terhadap potensi-potensi insany. Mana yang muncul lahir lebih dahulu, maka pendidikan diaralikan kepada pemenuhan kebutuhan potensi yang lahir dahulu itu,
kemudian kepada kebutuhan potensi bcrikulnya yang lahir sesuai dengan hukum alam. Potensi yang muncul pertama kali adalah gejala umum yang ada pada tingkat kehidupan hayawani dan nabati. kemudian terus-menerus lahir suatu gejala khusus yang berbcda dengan gcjala potensi macam lain sampai menjadi tingkat kehidupan insany. Maka karena itu kata Miska­waihi - wajib bagi kita mulai dengan hasrat (kecenderungan) akan makan, yang muncul pada diri kita dengan jalan memenuhi kebutulian kecenderungan, lalu muncul kecenderungan ghodlabiyah dan cinta kemuliaan, kita didik dengan jalan memenuhi kecenderungan, kemudian terakhir lahir kecenderungan kepada ilmu pengetahuan (dari jiwa natiqah) maka kita didik dengan jalan memenuhi kecenderungan itu.
Urutan kemunculan inilah yang kami (Miskawaihi) maksudkan thabi'iy (alamy), karena didasarkan proses kejadian manusia, yakni per­tama kali embriyo lalu bayi kemudian orang dewasa. Potensi-potensi ini lahir berurutan secara alamiyah.
Ide pokok dari thariqun thabi'iyyun dari Miskawaihi ialah bahwa pelaksanaan kerja • mendidik itu hendaknya didasarkan alas perkem­bangan lahir batin manusia. Sctiap tahap perkembangan manusia mempunyai kebutuhan psycho-phisiologis dan cara mendidik hendaklah memperhatikan kebutuhan ini sesuai dengan tahap pcrkembangnnya.

B.   Fungsi Pendidikan
1.    Memanusiakan Manusia
Setiap makhluk di dunia ini mempunyai kesempurnaan khusus dan perilaku yang spesilik baginya yang tidak ada makhluk lain yang menyertainya pada perilaku itu. Maka manusia diantara segala makhluk yang ada mempunyai sendiri perilaku khusus yang tidak ada makhluk lain yang bersekutu dengan dia pada perbuatan/perilakunya itu, yaitu segala perilaku yang lahir dari pertimbangan nalar akal pikirannya. Karena itu siapa yang pertimbangannya paling jemih, pena-larannya paling benar, keputusannya paling tepat, dialali orang yang paling scmpuma martabat kemanusiaannya. Seperti halnya sebilah pedang yang melahirkan perilakunya yang khas dengan bentuknya yang karenanya pedang itu diciptakan, maka pedang yang paling utama adalah yang paling tajam. Dengan ketajaman itu dia melaksanakan perananya sebagai tanda kesempurnaan. Kuda pacuan yang paling utama adalah yang paling kencang larinya, paling cepat mengerti komando jokinya.
Manusia juga demikian bahwa manusia yang paling utama adalah orang yang paling mampu menunjukkan perilaku yang khas padanya dan yang paling teguh berpegang kepada syarat-syarat substansinya (daya pikir) yang membedakan dia dengan makhluk lainnya. Maka, kewajiban yang tidak diragukan lagi ialah bcrbual kebajikan yang merupakan kesempurnaan manusia yang untuk itu mcrc-ka diciptakan dan agar mereka bcmpaya sungguh-sungguh untuk sampai pada kebajikan (al khairaat) itu, dan agar manusia menghindari kejahatan-kejahalan (as-syurur) yang menghambat mereka sampai kepada kebaikan itu. Maka jika seckor kuda pacuan urung dari kesempurnaannya, tidak lagi menampakkan perilaku-perilaku yang khas baginya yang menjadi ahwalnya yang paling utama, maka jatuhlah martabalnya dari sebagai kuda pacuan ke martabat keledai. Sama halnya manusia bilamana perilaku yang dia lahirkan menyimpang dari pertimbangan nalar pikiran jatuhlah ke martabat hayawaniyah.[9]
Oleh karena itu tugas pendidikan adalah mendudukkan manusia sesuai dengan substansinya sebagai makhluk yang termulia dari makhluk lainnya. Hal itu ditandai dengan perilaku dan perbuatan yang khas bagi manusia yang tak mungkin dilakukan makhluk yang lain.
Adalah kewajiban ilmu pendidikan sebagai ilmu yang mulia dari segala ilmu mempcrhatikan perbaikan perilaku manusia sampai lahir dari padanya perbuatan-perbuatan serba sempurna sesuai dengan substansinya/hakikat kemanusiaannya, serta mengangkat manusia dari tingkat yang rendah yang menyebabkan manusia mendapat kutukan Tuhan dan abadi dalam mereka.[10]

2.    Sosialisasi Individu Manusia
Pendidikan juga haruslah merupakan proses sosialisasi hingga tiap individu merupakan bagian integral dari masyarakatnya dalam melaksanakan kebajikan untuk kebahagiaan bersama. Miskawaihi menyatakan bahwa kebajikan itu sangat banyak dan lak mungkin mewujudkan seluruh kebajikan dari kemampuan satu orang manusia. Olch karena itu kata Miskawaihi untuk mewujudkan seluruh kebajikan itu haruslah jama'ah besar. Jadi haruslah selumh individu berhimpun pada suatu waktu untuk mcncapai kebahagiaan bersama. Kebahagiaan tiap individu sempurna bcrkat pcrtolongan lainnya. Kebajikan menjadi milik bersama. Kebahagiaan dibagi-bagikan kepada individu hingga masing-masing bertanggung jawab alas bagian dari kebahagiaan itu. Kamalul insany/human perfection lercapai bcrkat gotong royong itu. Untuk hal demikian wajiblah manusia saling mcncintai satu sama lain, karena masing-masing orang melihat kesempurnaannya berada pada orang lain. Kalau tidak saling mencintai, tidaklah sempurna kebahagiaannya.
Jadi tiap orang merupakan anggota dari anggota badan. Rangka manusia sempurna dengan utuhnya anggota-anggota badan.[11]
Miskawaihi menegaskan lagi bahwa manusia dari antara segala makhluk hewan tak dapat mandiri dalam menyempurnakan essensinya sebagai insan, letapi tak boleh tidak mesti dengan pcrtolongan dari golongan manusia lain dia dapat mcncapai kehidupannya yang baik dan melaksanakan kewajibannya dengan tcpat. Berkata para hukama: manusia itu secara alamiyah makhluk sosial buat orang dalam kesendirian itu? Tak ada iffah, tak ada najdah, tak ada adlaalah padanya! Kelihatannya dia sebagai orang suci, tapi sebenarnya tidak suci, kelihatannya dia sebagai orang yang lurus tapi sebenarnya tidak lurus. Orang itu bagaikan sebuah batu dan bagai orang mati.
Dia pada dasrnya adalah anggola masyarakal kota. Disitulah di tengah-tengah masyarakat terwujud kebahagiaan insaniyahnya.
Setiap orang memerlukan orang lain. Dia sewajarnya bergaul dengan masyarakat sebaik-baiknya, mencintai mereka selulus-tulusnya. Merekalah yang menyempurnakan kemanusiaannya scbagaimana dia juga berbuat yang sama kepada mereka. Kemudian Miskawaihi menyalahkan kehidupan zuhud/uzlah, hidup menyepi sebagai kehidupan yang berlawanan dengan sifat asasi manusia.

3.    Menanamkan Rasa Malu
Manusia diciptakan dengan kekuatan-kekuatan potensial dan kekuatan-kekuatan itu tumbuh secara alamiyah. Kekuatan yang mula-mula muncul ialah tuntutan biologis, yakni kecenderungan syahwaniyah seperti makan untuk mengembangkan fisiknya. Secara gerak instinktif anak menemukan susu ibunya lalu mengeluarkan suara yang menunjukkan reaksinya. Tuntutan biologis ini terus berkembang ke belbagai kecenderungan-kecenderungan keinginan. Kemudian menyusul timbul kekuatan imaginasi yang leibit dari pengindraan.
Sesudah itu muncul kekuatan ghodabiyah/kekuatan kemauan untuk bertindak mengatasi hambatan atau untuk mcmenuhi kecenderungan. Bila gagal mengatasi sendiri, menangislah anak itu, atau dia minta bantuan kepada orang tuanya. Setelah itu lahir kekuatan tamyiz/pertimbangan nalar (perkembangan intelektualitas) terhadap perilaku-perilaku khas manusiawi sedikit demi sedikit hingga sempurna. Pada tingkat perkembangan ini, anak dinamakan aqil. Kekuatan-kekuatan ini banyak, sebagiannya secara fundamental mendorong tcrwujudnya sebagian kekuatan yang lain sehingga tercapai tujuan perkembangan terakhir (tingkat akhir perkembangan akal insany), tujuan yang tak ada lagi tujuan lainnya, yaitu "al-Khair al-mutlaq". Kebajikan mutlak yang diinginkan manusia sebab dia manusia.
Pertama-tama yang muncul dari kekuatan-kekuatan ini pada manusia adalah rasa malu (al-hayaa'u), yaitu rasa takut lahimya sesuatu yang jelek dari dirinya.
Karena itu kata Miskawaihi - Pertama-tama yang harus diamati benar-benar pada anak-anak dan dipandang tanda awal perkembangan akalnya adalah limbulnya rasa malu karena hal itu menunjukkan bahwa anak sudah menginsafi tentang keburukan. Disamping keinsafan tentang keburukan, anak juga berupaya memclihara dirinya dan menjauhi keburukan itu.
Ibnu Miskawaihi menandai gejala ini dengan perilaku anak seperti - kata Miskawaihi - bila kau amati anak-anak dan kau dapati dia kesipu-sipuan, matanya menunduk ke bawah, wajahnya sayu tidak menengadahkan, maka itu tanda awal dari kebagusan bawaannya dan menjadi bukti bagimu bahwa jiwa sudah menyentuh apa kebaikan itu dan apa keburukan itu. Jiwa yang demikian ini berbakat untuk dididik, pantas diberi perhatian, wajib tidak dilantarkan dan jangan dibiarkan bergaul dengan orang-orang yang dapat merusaknya.[12]
Dari pikiran Miskawaihi diatas jelaslah bahwa penanaman rasa malu adalah fungsi pendidikan yang penting dan penanaman ini dimulai sedini mungkin yakni pada awal munculnya gejala jiwa tamyiz, yakni perkembangan anak inulai bcrpikir kritis dan logis pada waktu mcreka duduk di sekolah dasar, pada umur antaia 10-12 tahun. Anak telah dapat mcngcnal aturan kesusilaan serta tahu bagaimana dia harus bertingkah laku (Bigot).[13]

C.   Ilmu Pengetahuan yang dipelajari
Ibnu Miskawaihi mcncmpatkan ilmu ke dalam suatu kedudukan berdasarkan obyek ilmu itu. Ilmu yang paling mulia mcnurut Miskawaihi adalah ilmu pendidikan karena obyeknya adalah budi pekerti manusia, menyangkut substansi manusia. Ilmu kedokteran, adalah obyeknya manusia, juga merupakan ilmu pengetahuan yang mulia. Segala ilmu pengetahuan yang mengembangkan quwwatun natiqah (daya pikir) adalah ilmu yang paling mulia. Scbab jiwa natiqah selalu condong kepada ilmu pengetahuan, lambang kesempurnaan dan kemuliaan manusia. Sebaliknya pengetahuan tentang menyamak kulit dipandang hina karena obyeknya adalah kulit bangkai hewan.
Dengan dasar pemikiran tersebut Ibnu Miskawaihi membagi ilmu kepada dua golongan: al-ulumul sarifah (ilmu-ilmu yang mulia) dan al-ulumul radli'ah (ilmu-ilmu yang hina). Martabat suatu ilmu sesuai dengan urutan martabat hakekat obyek ilmu itu dalam alam ini, misalnya ilmu tentang manusia lebih mulia dari obyek hewan, ilmu hewan lebih mulia dari tumbuh-tumbuhan dan ilmu tumbuh-tumbulian lebih mulia dari benda-benda mineral.[14]
Dari pemikiran Miskawaihi, kita memahami bahwa kecenderungan Miskawaihi kepada ulumul aqliyah, sebagai ilmu yang utama dipelajari karena menunjang tercapainya kualitas manusia yang sempurna.

D.   Kesimpulan
Setelah membaca dan memaliami kitab Tahzibul Akhlak Ibnu Miska­waihi sesuai dengan kemampuan saya, dapat saya simpulkan bahwa Kitab TahzibulAkhlaq Ibnu Miskawaihi cukup memberikan wawasan bani lagi aktual dalam bidang psikologi.
Gagasan Tahzibul Akhlaq dalam pendidikan sangat relevan dengan tuntulan zaman sekarang.
1.      Konsepnya tentang thariqun thabiiyyun/metodc alamiyah mcnunjuk-kan penlingnya ilmujiwa pcrkembangan bagi pelaksanaan pendidikan. Jangan sampai terjadi contra-psychologis dalam proses pendidikan itu.
2.      Aksentuasi pendidikan pada peningkatan kualitas manusia, sosialisasi anak didik, pcnanaman rasa malu sedini mungkin, letap aktual masa sekarang dan dimasa-masa yang akan dalang, terutama bagi negara-negara umat Islam pada saat mereka mcngliadapi ancaman globalisasi kebudayaaa
3.      Pandangannya tentang ilmu-ilmu mulia (al ulumul aqliyah, science & technology) patut dipertimbangkan dalam perencanaan program pendidikan umat.
4.      Kitab Tahzibul Akhlak benar-benar saral dan pcnuh dengan mutiara-mutiara filsafat, psikologi & pendidikan. Apa yang dapat diangkat lewat tulisan ini sangat sedikit sekali bagaikan setimba air dari sebuah danau.




[1] Muhammad Luthfi Jum'ah, Tarikh Falsafatil Islam. Mesir, 1927, hal. 305.
[2] Dr. Muhammad Yusuf Musa, Falsafatil Achlaq fil Islam wa Shilatiha bil Falsafatil Ighriqiyyah, Qairo, Cet. Ill, 1926. hal. 74.
[3] MM. Syarif (Ed.), “Para Fitosof Muslim”. terj. Cetakan III. Bandung. Mizan, 1991, hal. 83.
[4] lbid
[5] Yusuf Musa, Op.cit., hal. 73.74.
[6] Ibid., hal. 11.
[7] Bigot c.s., Psychology, Simpai, Yogyakarta, 1997, Bab Karakterologi.
[8] Ibnu Miskawaihi, Op.cit., hat. 12
[9] Ibid., hal. 5-6
[10] Ibid., hal. 13
[11] Ibid., hal.6.
[12] Ibid., hal. 19-20.
[13] "Bigot c.s. Op.cit., hal. 14
[14] Ibnu Miskawaihi, Op.cit., hal. I3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar