Selasa, 02 Juni 2020

DUNIA ANAK ADALAH DUNIA BERMAIN




DUNIA ANAK ADALAH DUNIA BERMAIN
Imam Mucharror

Awalnya, bermain belum mendapat perhatian khusus dari para Ahli Psikologi. Hal ini disebabkan karena keterbatasan pengetahuan tentang Psikologi Perkembangan Anak dan kurangnya perhatian mereka terhadap perkembangan anak.
Di antara tokoh yang dianggap paling berjasa dalam meletakkan dasar permainan adalah Plato, seorang filosof Yunani kuno yang hidup kira-kira pada tahun 470-390 SM. Plato dianggap sebagai orang per­tama yang menyadari betapa pentingnya bermain jika ditinjau dari segi nilai praktisnya. Menurut Plato, anak-anak akan lebih mudah mempelajari Aritmetika dengan cara membagi-bagikan Apel kepada anak-anak. Juga melalui pemberian alat permainan miniatur balok-balok kepada anak usia 3 tahun, pada akhirnya akan mengantar anak tersebut menjadi seorang Ahli Bang­unan.
Filosof lainnya, Aristoteles (384-322 SM), ber­pendapat bahwa anak-anak perlu didorong untuk ber­main dengan apa yang akan mereka tekuni di masa dewasa nanti. Namun jauh-jauh sebelum Comenius (abad 17 M), Rousseau, Pestalozzi, dan Frobel (abad 18 dan awal abad 19) berbicara tentang pendidikan anak, di belahan Timur pada tahun 571-632 M., Mu­hammad s.a.w. dengan penuh kemantapan menata Ilmu Pengetahuan, khususnya yang berkenaan dengan etika atau akhlak kerumahtanggaan secara detail.
Dalam kaitannya dengan bermain, Muhammad s.a.w. tampaknya telah lebih dahulu mengajarkan bagaimana seharusnya memperlakukan anak-anak dengan memberi contoh menimang dan memanjakan cucu-cucunya, Hasan dan Husain, bermain kuda-kudaan, bermain ciluk ba, dan lain sebagainya. Sehingga wajar jika dalam hal ini, Imam al-Ghazali, seorang filosof Muslim yang hidup antara tahun 1059-1111 M. meman­dang bahwa anak adalah amanat bagi kedua orang tuanya. Hatinya yang masih suci adalah permata yang amat mahal. Apabila ia diajari dan dibiasakan untuk berbuat kebaikan, maka ia akan tumbuh pada kebaikan itu dan mendapatkan ke­bahagiaan di Dunia dan di Akhirat. Tetapi, apabila dibiasakan untuk berbuat kejahatan dan dibiarkan seperti binatang, maka ia akan sengsara dan binasa. Cara membesarkan anak yang baik adalah dengan mendidik dan mengajarkan akhlak yang mulia pada­nya.
Selanjutnya, bermain-main dalam pandangan al-Ghazali adalah sesuatu yang sangat penting. Sebab, melarangnya dari bermain-main seraya memaksanya untuk belajar terus menerus dapat mematikan hatinya, mengganggu kecerdasannya, dan merusak irama hidupnya. Sedemikian rupa pengaruhnya sehingga ia akan berupaya melepaskan diri sama sekali dari kewajibannya untuk belajar.
Merujuk pada temuan Dr. Asma Hasan Fahmi (1975), sesungguhnya jika dipandang sebagai metode, bermain dalam pendidikan Islam sudah tidak disangsi­kan lagi keberadaan­nya, sejak semula sudah ada dalam Islam hingga sekarang ini. Pendidikan Islam sangat menghargai dan memperhatikan kebutuhan anak-anak terhadap permainan. Sebab, permainan merupakan satu hal yang penting bagi perkembangan inteligensi dan fisik-motorik (jasmaniah) anak.
Bermain merupakan dunianya anak-anak. Di mana dan dengan siapa mereka berkumpul, di situ pula akan muncul permainan. Melalui bermain mereka akan mengenal sekaligus belajar berbagai hal tentang kehidupannya, juga dapat melatih keberanian dan menumbuhkan kepercayaan diri, baik dengan memper­gunakan alat (peraga) maupun tidak memakainya.
Usia pra-sekolah (TK) merupakan usia paling peka bagi anak. Karena itu, ia menjadi titik tolak paling strategis untuk mengukir kualitas seorang anak di masa depan. Anak kaya akan daya khayal, daya pikir, rasa ingin tahu, dan kreativitas yang tinggi. Para Ahli Psikologi anak mengatakan bahwa kreativitas anak dimulai sejak usia 3 tahun dan mencapai puncak­nya sampai berumur 4,5 tahun.
Operasionalisasi pendidikan bagi anak-anak usia dini dan anak-anak pra sekolah (TK) akan lebih bermakna jika dilakukan melalui metode pendidikan yang menyenangkan, edukatif, sesuai dengan minat, dan bakat serta kebutuhan pribadi anak. Oleh karena itu, mereka butuh permainan sebagai media pendidik­an di dalam pembelajaran di sekolah. Alat bermain tidak harus mahal, unsur mendidiklah yang harus di­utamakan. Akan lebih jelas lagi jika dalam menyam­paikan materi pelajaran dengan pendekatan belajar sambil bermain.
Berbicara tentang permainan anak-anak se­sungguhnya sama saja dengan mempermasalahkan salah satu cara bagaimana anak-anak diberi kesempat­an untuk mendewasakan diri dalam lingkungannya. Permainan bukan hanya terkait dengan alat-alat per­mainan, kawan bermain, tempat bermain, dan ling­kungan hidup, tetapi terdapat hal-hal yang jauh lebih luas cakupan di dalamnya. Melalui permainan, anak-anak dapat mengekspresi­kan diri untuk memperoleh kompensasi atas hal-hal yang tidak mungkin dialami­nya. Dengan bermain dan menggunakan alat-alat per­mainan inilah anak-anak mengadaptasikan dirinya terhadap lingkungannya.
Menurut Hans Daeng (1982), permainan dapat dikatakan universal sifatnya, karena hidup pada se­mua masyarakat di dunia. Tidak ada psikolog atau pendidik pun yang menolak pendapat yang menyata­kan bahwa permainan atau bermain adalah bagian mutlak dari kehidupan anak dan merupakan bagian integral dari proses pembentukan kepribadian anak. Artinya, dengan dan dari permainan itu anak belajar hidup.
Melalui permainan, anak-anak dapat berkenal­an dengan orang-orang dan hal-hal yang mengelilingi­nya sehingga mereka menjadi akrab. Perlahan namun pasti, anak-anak berkembang menjadi anggota ma­syarakat­nya. Dalam ada bersama, bermain bersama, mereka tidak saja menggunakan alat-alat permainan, tetapi dengan kata-kata khusus mereka saling adu argumen dan pendirian bila terjadi penyelewengan dari peraturan permainan yang mereka sepakati. Kata-kata “ejek” tercipta bila ada yang kalah; kata-kata “penyemangat” terdengar merangsang untuk yang kalah maupun yang menang.
Permainan merupakan gejala umum yang ter­jadi di dunia hewan maupun manusia. Permainan tidak mengenal lingkungan dan stratifikasi sosial, bisa hinggap di masyarakat kecil pedesaan maupun kong­lomerat perkotaan, disenangi anak-anak, pemuda maupun orang dewasa. Permainan merupakan ke­sibukan yang ditentukan oleh sendiri, tidak ada unsur paksaan, desakan atau perintah, dan tidak mempunyai tujuan tertentu.
Keluarga mempunyai tugas fundamental dalam mempersiapkan anak bagi peranannya di masa depan. Dasar-dasar perilaku, sikap hidup, dan berbagai ke­biasaan ditanamkan kepada anak sejak dalam ling­kungan keluarga. Semua dasar yang menjadi landasan bagi pengembangan pribadinya itu tidak mudah berubah. Oleh sebab itu, penting sekali diciptakan lingkungan keluarga yang baik, dalam arti menguntung­kan bagi kemajuan dan perkembangan pribadi anak serta mendukung tercapainya tujuan pendidikan yang dicita-citakan.
Menurut Hery Noer Aly (1999) lingkungan ke­luarga yang baik, sekurang-kurangnya mempunyai tiga ciri, yaitu: Pertama, keluarga memberikan suasana emosional yang baik bagi anak-anaknya, seperti perasa­an senang, aman, disayangi, dan dilindungi. Kedua, mengetahui dasar-dasar kependidikan, terutama ber­kenaan dengan kewajiban dan tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan anak serta tujuan dan isi pendidikan yang diberikan kepadanya. Ketiga, bekerja sama dengan pusat pendidikan tempat orang tua meng­amanatkan pendidikan anaknya.
Di antara tujuan terpenting dari pembentukan keluarga menurut Abdurrahman an-Nahlawy (1995) ialah untuk mewujudkan ketenteraman dan ketenangan psikologis, untuk memenuhi kebutuhan cinta kasih anak-anak. Karena naluri menyayangi anak merupa­kan potensi yang diciptakan Allah bersamaan dengan penciptaan manusia dan binatang serta untuk menjaga fitrah anak agar tidak melakukan penyimpangan-penyimpangan. Karena dalam konsep Islam, keluarga adalah penanggung jawab utama terpeliharanya fitrah anak.
Karena keluarga merupakan tempat pendidikan pertama dan utama bagi anak, maka suasana kehidup­an rumah tangga (suami-istri) juga harus memperhati­kan kebutuhan anak dalam menciptakan suasana emosional yang baik. Dengan kata lain, orang tua hendaknya menjaga kondusifitas keluarga.
Rasa kasih sayang serta ketenteraman yang dirasakan bersama dalam keluarga akan membuat anak tumbuh dan berkembang dalam suasana bahagia. Kebahagiaan itu pada gilirannya akan memberikan anak rasa percaya diri, tenteram, cinta serta menjauh­kan diri dari rasa gelisah, dan berbagai penyakit mental yang dapat melemahkan kepribadiannya.
Mengingat pentingnya tugas dan tanggung jawab keluarga dalam pembentukan anak-anak yang kreatif, maka orang tua harus dapat memenuhi kasih sayang serta menjaga dan mengembangkan potensi dasar kreativitas anak. Orang tua juga harus dapat memberikan perhatian yang penuh terhadap hal-hal yang dapat mendukung anak melakukan kegiatan kreatif. Jika ditemukan anak terhenti kreativitasnya, maka lebih disebabkan karena ketidakwaspadaan orang tua terhadap perkembangan psikologis anak.
Pada hakikatnya, anak dilahirkan dengan mem­bawa “potensi dasar” (fitrah), maka kewajiban orang tua ialah membimbing dan membina fitrah tersebut pada arah yang dapat menguntungkan bagi perkem­bangan kecakapan dan motorik anak, sehingga ia akan benar-benar menjadi generasi kreatif dan mandiri.
Pentingnya bermain bagi perkembangan ke­pribadian anak telah diakui kebenarannya secara uni­versal. Bermain merupakan salah satu kebutuhan da­sar manusia dewasa maupun anak-anak. Kesempatan bermain dan rekreasi akan memberikan kegem­biraan serta kepuasan emosional tersendiri, karena bermain merupakan kegiatan spontan dan kreatif, yang dengan­nya seseorang dapat menemukan ekspresi diri secara sepenuhnya.
Sederet Ahli Filsafat seperti Plato dan Aristo­teles, serta Ahli Pendidikan seperti Comenius, Rous­seau, Pestalozi, Froebel, al-Ghazali, Avicenna (Ibnu Sina), dan Ibnu Khaldun menekankan betapa penting­nya permainan bagi seorang anak. Bagi mereka, ber­main dipandang sebagai kegiatan alamiah anak dalam mendapatkan pengalaman-pengalaman, alat menemu­kan kreativitas, serta sarana untuk mengembangkan kecerdasan.
Unsur-unsur afeksi, kognisi maupun psikomotor yang terdapat dalam diri anak sudah selayaknya sejak dini terbiasa diaktifkan demi mendapatkan kecerdasan yang berkualitas. Melalui permainanlah ketiga unsur pokok pendukung intelek­tualitas anak dapat lebih mudah ditangkap, karena permainan merupakan sarana belajar yang paling efektif dan menyenang­kan. Sehingga tidaklah mengherankan jika kemudian lahir Metode Quantum yang membawa anak kepada suasana belajar yang menyenangkan dan mengasyikkan, tidak menghadapkan anak kepada suasana belajar yang menjemukan.
Montessori (1961) menggambarkan anak yang sedang bermain berada dalam keserasian sepenuhnya dengan hukum dasar dari aktivitas alamiah. Rogers juga menekankan bahwa salah satu kondisi internal untuk kreativitas konstruktif adalah kemampuan un­tuk bermain dengan unsur-unsur dan konsep-konsep.
Menurut Teori Rekapitulasi, melalui bermain anak dapat melewati tahap-tahap perkembangan yang sama dari per­kembangan sejarah umat manusia. Me­lalui kegiatan bermain, anak dapat memuaskan ke­inginannya yang terpendam atau mungkin tertekan. Oleh karenanya penganut Mazhab Psikoanalisis me­nyebutkan bahwa dalam bermain anak seolah-olah mencari kompensasi untuk mengekspresikan apa-apa yang tidak ia peroleh dalam kehidupan nyata (imitasi), dengan cara inilah mereka akan mendapatkan pe­muasan.
Peranan orang tua dalam mengarahkan anak sehingga diperoleh kesenangan dan kepuasan ter­utama dalam menemu­kan jenis mainan yang tepat untuk perkembangan totalitas kepribadian anak amat penting. Sebab, selama ini ada yang mengukur per­kembangan anak hanya dari sudut kecerdasan, atau pencapaian prestasi akademik di sekolahnya saja. Namun, di kemudian hari terbukti bahwa di lapangan pekerjaan, “tingkat kepandaian” (IQ) bukanlah satu-satunya tolok ukur keberhasilan anak. Ada kematang­an perkembangan lain yang berpengaruh yaitu emoti­onal quotient (EQ; kecerdasan emosional) dan spiritual quotient (SQ; kecerdasan spiritual).
Anak yang mengenal diri sendiri dan lingkung­annya akan tahu pula cara berinteraksi dengan ling­kungan agar kehidupan berjalan serasi, atau berbuat sesuatu yang tidak mengancam kehidupan di antara orang banyak. Ia pun belajar mempertemu­kan banyak keinginan dalam suatu situasi.
Idealnya anak diperkenalkan dengan berbagai jenis mainan, baik yang lama maupun yang baru. Man­faatnya adalah, mendidik anak untuk mampu memilih dan membedakan apa yang ia butuhkan. Agar anak mampu memilih, orang tua dituntut mengomunikasi­kan mainan apa yang boleh dan tidak boleh dibeli, dilengkapi dengan alasan-alasan. Penjelasan itu bisa sangat beragam mulai dari segi keamanan, tingkat kesulitan, harga, atau alasan logis lainnya. Penjelasan demikian benar-benar harus ditanamkan sehingga tidak terjadi selisih paham yang mampu mengakibat­kan kekecewaan, misalnya, rasa kurang disayang. Cara ini secara tidak langsung juga melatih anak untuk dapat menjadi dirinya sendiri. Ia tidak mudah terpeng­aruh bujukan mainan yang sedang trend namun kurang bermanfaat.
Oleh karenanya dalam memberikan kesempat­an bermain, orang tua atau guru perlu mengklasifikasi­kan jenis serta bentuk permainan yang lebih tepat. Artinya, dalam memilih permainan sebaiknya orang tua tidak asal memilih, tetapi harus memperhatikan unsur edukatif yang terdapat dalam permainan ter­sebut.
Menurut Zakiyah Darajat (1976), permainan mempunyai peranan penting dalam pembinaan pri­badi anak. Hal senada juga diperkuat Joan Freeman dan Utami Munandar (1995) yang menyebutkan bah­wa pada umumnya para pakar sepakat bermain meru­pakan suatu aktivitas yang membantu anak mencapai perkembangan yang utuh, baik fisik, intelektual, sosial, moral, dan emosional anak.
Sesungguhnya setiap anak memiliki potensi kreatif. Beberapa di antaranya memilikinya lebih dari­pada yang lain. Tetapi tidak ada anak yang tidak kre­atif sama sekali. Terutama pada anak-anak usia pra sekolah, mereka memiliki kreativitas yang alamiah yang sangat besar. Sayangnya, orang tua atau pendidik masih banyak yang kurang menyadari dan menghargai akan pentingnya kreativitas anak. Kreativitas bukan­lah merupakan kebebasan untuk melakukan segala hal tanpa batas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar