Jumat, 27 Maret 2020

Berfikir Beda dan Berfikir Plus



Filed  under: Kecerdasan  Emosi, Kecerdasan  Power,
Kecerdasan Intelektual, Kiat, Topik Personal
Imam Mucharror

“Kalau saya sih beda! Menurut saya sebaiknya … bla..  bla.. bla….”
Pernahkah Anda bertemu orang yang selalu  berpikir beda dengan Anda (juga  hampir semua orang lainnya)? Mula-mula  kita kagum, tapi lama-lama jengkel juga.  Rasanya hanya pendapat  dia itu yang benar, sementara pendapat orang lain itu  tidak benar,  atau paling tidak pasti ada cacatnya. Jadi, berpikir beda itu baik  atau buruk?

Think different.
Itulah  slogan perusahaan komputer Apple saat meluncurkan bentuk komputer  yang  beda di akhir tahun 90-an. Komputer yang lazim saat itu adalah  sebuah kotak CPU  (Computer Processing Unit) yang terpisah dari  monitor tabung. Apple bikin yang  beda, komputernya berupa sebuah  monitor dengan bagian atas yang bening sehingga  terlihat komponen  di dalamnya. Mana kotak CPU nya? Nggak ada, karena ternyata  CPUnya  sudah ditempelkan di bagian bawah monitor tersebut, menyatu sehingga  tidak terlihat. Komputer iMac ini laku keras luar biasa, dan membuat  perusahaan  Apple kembali diperhitungkan di pasar PC.
“Jadi  berpikir beda itu perlu?” Tunggu dulu.
Apple  berbeda dengan perusahaan lainnya. Namun andai Anda adalah karyawan  Apple saat itu, bisakah Anda berpikir beda? Belum tentu. Paling  tidak Anda harus  ikut kemauan pimpinan di Apple yang waktu itu  adalah Steve Jobs, seorang  visioner yang juga otoriter dalam menerapkan  visinya. Kalau Anda beda dengan  dia, siap-siap saja untuk ditendang  keluar. Apple itu berpikir beda dari  perusahaan komputer lainnya,  tapi berpikir sama di dalam perusahaannya.
“Jadi kapan  kita perlu berpikir beda?” Nah, ini baru pertanyaan yang  benar.
Kita  perlu berpikir beda bila kita berada dalam suasana bebas sederajat,  dimana semua perbedaan mendapat penghargaan sama. Biasanya suasana  ini ada dalam  proses kreatif (brainstorming misalnya), proses  penciptaan. Selain itu : jangan  berpikir beda!
Believe  me, berpikir beda di suasana selain suasana kreatif ternyata  berakibat  tidak menguntungkan. Secara alami, tidak ada manusia yang menyukai  perbedaan. Pepatah mengatakan, “Birds  of a feather flock together.” Burung dengan bulu yang  sama kumpul  bersama. Kalau Anda sering beda dengan rekan-rekan  Anda, pelan tapi pasti Anda  akan disingkirkan. Dan itu yang saya  lihat dari pengalaman selama ini. Apalagi,  kalau Anda sering berbeda  dengan atasan Anda terutama di rapat-rapat. Mungkin  beliau hanya  tersenyum pada Anda, dan besoknya Anda dipindahtugaskan. Kita bisa  berbeda dengan kompetitor, tapi harus sama dengan grup kita.
Loh,  bukannya buku-buku menyarankan agar kita berpikir beda? Bukankah  guru-guru manajemen juga menyarankan agar perusahaan menumbuhsuburkan  iklim beda  pendapat? Justru itu. Karena beda pendapat itu bukan  hal yang alami, maka  guru-guru manajemen berteriak-teriak agar  perusahaan menghargai perbedaan.
Berbeda itu tidak alami.  Sayangnya persis sama juga tidak alami!
Semua yang persis  sama tidaklah alami. Lihatlah diri kita, semua memiliki  keunikan  masing-masing. Kalau kita semua sama, maka kita justru menjadi lemah.  Kalau semua daun warnanya sama, dunia akan membosankan.
Jadi  bagaimana? Ini solusinya : kita menyukai yang sedikit berbeda!
Daun  yang beragam namun memiliki kesamaan. Seni yang beda namun dalam  kelompok jenis yang sama. Musik beda namun dalam genre yang sama.  Praktisnya,  yang suka musik rap tidak suka musik jazz, demikian  pula sebaliknya. Namun yang  suka rap mungkin masih bisa menerima  pop, demikian pula yang suka jazz masih  mentolerir pop. Karena  musik pop seakan di tengah-tengah, menjembatani rap dan  jazz yang  ekstrim berseberangan.
Jadi, alih-alih kita berpikir beda,  maka sebaiknya kita pakai ini saja :  BERPIKIR PLUS. Sebuah cara  berpikir lebih atau berpikir tambah.

Think Plus.
Berpikir  tambah menuntut cara yang sama sulitnya dengan berpikir beda. Dalam  berpikir plus mula-mula kita harus mampu melihat sisi positif  dari pendapat  orang lain, lalu kita tambah pendapat itu agar lebih  sempurna. Tambahan ini bisa  berupa sesuatu yang memperkuat efek  positif dari pendapat orang lain itu, atau  berupa sesuatu yang  menutupi kelemahannya. Berpikir plus ini ibarat bermain  catur  dimana kita harus meneruskan langkah yang sudah diambil orang lain.  Kita  biarkan langkah yang sudah diambil (karena itu hak dia misalnya),  kalau langkah  itu bagus maka kita tambah dengan langkah yang lebih  menajamkan untuk menyerang,  namun bila langkah itu lemah maka  kita tambah dengan langkah memperkuat posisi  sebagai antisipasi.  Berpikir plus adalah menambah dari sesuatu yang sudah ada  agar  menjadi semakin berkualitas.
Lihatlah kembali desain komputer  Apple, sebenarnya tidak secara radikal  berbeda dengan komputer  lainnya. Masih terlihat komputer, bukan? Apple masih  waras untuk  menciptakan barang baru yang tidak terlalu aneh, karena aneh bisa  berakibat ditolak pasar. Mobil juga ada berjenis-jenis, tapi masih  punya  karakteristik sama. Artinya, bahkan desain yang beda - dan  terbukti diterima  pasar - pun ternyata tidak bisa lepas dari kesamaan.  Bayangkan kalau Anda bikin  komputer dengan bentuk dinosaurus atau  mobil dengan bentuk mentimun, mungkin  hanya sedikit orang yang  akan memakainya, alias Anda hanya akan diterima  kalangan eksentrik.  Saya jadi ingat kisah sepeda motor skuter (Scooter) Vespa.  Itu adalah desain sepeda motor radikal oleh seorang desainer pesawat  terbang.  Walhasil, desain skuter mendahului jamannya. Selama 50  tahun dunia sepeda motor  didominasi oleh jenis sepeda motor bebek.  Pengguna skuter masuk kelompok  eksentrik. Hingga akhir-akhir ini  barulah desain skuter mulai mempengaruhi motor  bebek yang kian  lama kian menjadi desain bebek matic. Demikian pula dengan Anda  di perusahaan, kalau Anda betul-betul radikal berbeda, maka Anda  akan menjadi  kelompok minoritas di pojok dan harus menunggu angin  berubah agar muncul ke  permukaan. Itupun syukur-syukur kalau arah  angin memang akan berubah.
Berpikir plus. Tambahin pendapat  orang lain agar menjadi lebih sempurna.  Letak ‘berpikir beda’  kita tempatkan pada kemampuan menemukan hal yang dapat  menambah  kesempurnaan usul orang lain.
Saya kutip di sini sebuah  cerita yang disampaikan Stephen Covey, penulis buku  Seven Habits.  Suatu ketika saat memberikan konsultasi, Covey melihat suatu  kejadian  di sebuah kantor dimana pimpinannya sangat otoriter. Banyak karyawannya  tidak puas, dan kebanyakan membicarakan yang buruk tentang si  bos itu. Namun ada  seorang karyawan, katakanlah namanya Ben, mempunyai  sikap berbeda dengan  rekannya yang lain. Ben adalah orang yang  pro aktif. Ketika rekan-rekannya  menjauhi pimpinan tersebut, Ben  justru berusaha mendukung dengan cara yang  positif. Setiap tugas  yang diberikan kepada Ben dikerjakan dengan baik. Lebih  jauh dari  itu Ben selalu ‘menambah’ dengan analisis tambahan yang ternyata  memang diperlukan oleh pimpinan. Ben senantiasa berpikir plus,  memberikan lebih  dari yang diminta. Lama-kelamaan pimpinan tersebut  makin percaya dan makin  bergantung kepada Ben. Kalau biasanya  dia memutuskan sendiri, maka kini dia  meminta pertimbangan dari  Ben. Beberapa tahun kemudian Ben menggantikan bos  tersebut untuk  memimpin perusahaan. Dalam cerita itu tampak bahwa walaupun  mungkin  Ben tidak setuju seperti rekan lainnya, namun dia bertindak pro  aktif  dan menggunakan cara berpikir plus untuk mendukung pimpinannya.  Dengan  menggunakan sikap pro aktif berarti dia memberdayakan kecerdasan  emosinya (EQ),  dengan berpikir plus berarti menggunakan kecerdasan  intelektualnya (IQ), dan  dengan tetap mendukung pimpinannya berarti  dia menggunakan kecerdasan powernya  (PQ).
Berpikir plus.  Itulah usul saya bila Anda sekarang adalah bawahan yang masih  senang  di tempat Anda bekerja sekarang. Kalau Anda ternyata seorang bos  yang  tidak punya atasan? Ya bebas saja silahkan menurut Anda.  Untuk level bos, Anda  bebas untuk berpikir beda atau bahkan tidak  berpikir sama sekali.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar