Pesantren
Secara garis besar ada
dua pendapat mengenai asal usul pesantren. Pendapat pertama mengatakan bahwa
pesantren berasal dari tradisi pra Islam. Sementara yang kedua berpendapat
bahwa pesantren adalah model pendidikan yang berasal dari tradisi Islam.[1]
H.A.R. Tilaar menyebut
bahwa pesantren merupakan bentuk pendidikan yang indigenous yang telah
hidup dan berada dalam budaya Indonesa sejak zaman prasejarah yang kemudian
dilanjutkan pada masa Hindu Budha dan diteruskan pada masa kebudayaan Islam.
Pesantren memiliki pengertian archaic, yang juga berkonotasi kemasyarakatan,
bahkan suatu kesatuan ekonomis dan mungkin pula politis selain dari pada suatu
masyarakat pendidikan dengan nuansa agama.[2]
Mastuhu memperkirakan
pesantren telah ada sejak 300-400 tahun yang lalu. Sementara itu Departemen
Agama, memberikan keterangan bahwa pesantren pertama didirikan pada tahun 1062
dengan nama pesantren Jan Tampes 2 di Pamekasan Madura. Dan ada yang menyebutkan
pesantren pertama didirikan oleh Raden Rahmat pada abad 15 M.[3]
Dengan melihat
terminologinya, kita bisa mengatakan bahwa pendidikan pesantren berasal dari
India. Secara historis pun bisa dilacak bahwa sistem pendidikan yang mirip
dengan pesantren telah ada sebelum Islam masuk ke Nusantara ini. Sistem
pendidikan tersebut dipergunakan untuk mendidik dan mengajarkan agama Hindu di
Jawa. Kemudian setelah Islam masuk dan tersebar di Indonesia, sistem pendidikan
tersebut digunakan pula untuk membina kader-kader Islam. Dari sana bisa diduga
bahwa secara kurikulum pesantren awal hanya merupakan bentuk penyesuaian
orientasi keagamaan dari Hindu menjadi Islam saja. Jika di masa kerajaan Hindu,
padepokan berfungsi untuk mencetak begawan dan resi, maka setelah masuknya
Islam pesantren bertujuan untuk mengajarkan pengetahuan keislaman, sehingga
lahirlah wali-wali yang berjasa besar dalam menyebarkan Islam di Nusantara.
Apabila melihat corak
keislaman, pesantren awal cenderung kepada pengajaran Islam dengan corak
fiqh-tasawwuf. Realitas ini cukup bisa dilihat dengan fenomena thariqah yang
pada umumnya berbasis di pesantren tradisional hingga saat ini. Keunggulan
corak ini pesantren di masa awal tidak mengalami persinggungan dengan
kekuasaan. Akibat yang langsung bisa dilihat, agama Islam berkembang pesat
tanpa ada halangan yang berarti dari penguasa saat itu.
Pada abad ke 19 Masehi,
muncul pengaruh Salafiyah di Indonesia. Sebagai akibat dari pengaruh ini, di
Minangkabau terjadi peperangan antara kaum paderi dengan kaum adat. Belanda
mengambil kesempatan dengan adanya peperangan ini dan berpihak kepada kaum
adat. Sementara itu, di jawa berdiri beberapa organisasi seperti Muhammadiyah
dan Persis.
Seiring dengan
perkembangan Islam di Nusantara corak tersebut secara pelan mengalami
pergeseran. Di awal abad 20 misalnya, Gontor mempelopori berdirinya pesantren
yang menekankan aspek kaderisasi pendidikan Islam. Di pesantren ini santri
dibekali dengan dasar-dasar ilmu agama dan berbagai ketrampilan hidup sehingga
kelak ia bisa membina masyarakat. Metode pengajaran pun dimodernisasi
sedemikian rupa.
Sampai akhir abad 20,
sistem pendidikan pesantren terus mengalami perkembangan. Pesantren tidak lagi
hanya mengajarkan ilmu agama tetapi juga mengajarkan ilmu-ilmu umum. Selain itu
juga muncul pesantren-pesantren yang mengkhususkan ilmu-ilmu tertentu, seperti
khusus untuk tahfidz al-Qur'an, iptek, ketrampilan atau kaderisasi gerakan.
Perkembangan model
pendidikan di pesantren ini juga didukung dengan perkembangan elemen-elemennya.
Jika pesantren awal cukup dengan masjid dan asrama, pesantren modern memiliki
kelas-kelas, dan bahkan sarana dan prasarana yang cukup canggih.
Potret Pesantren
Kita akan terjebak dalam
konflik tidak berpenghabisan manakala tidak ada kesamaan persepsi tentang
ontologi pesantren tersebut. Secara etimologis, pesantren berasal dari kata
dasar ‘santri’ yang mendapat awalan pe dan akhiran an yang berarti menunjukkan
makna tempat. Dengan demikian, maka Pesantren adalah tempat santri.
Sementara terdapat
sejumlah teori yang menjelaskan asal-usul kata santri. Pertama, berasal
dari kata sastri, bahasa sanskerta yang artinya melek huruf. Kedua,
berasal dari cantrik, yang berarti seseorang yang selalu mengikuti guru
ke mana guru pergi menetap.[4]
Ketiga, berasal dari bahasa India yang bermakna orang yang tahu
buku-buku suci agama Hindu atau ilmu pengetahuan.[5]
Sedangkan kata pondok berasal dari bahasa Arab funduk yang berarti
asrama, rumah, hotel atau tempat tinggal sederhana,[6]
atau penginapan bagi orang yang bepergian.[7]
Menurut M. Habib Chirzin
pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam dengan kyai sebagai tokoh
sentralnya dan masjid sebagai pusat lembaganya. Istilah pesantren disebut
dengan surau di daerah Minangkabau, penyantren di Madura, pondok
di Jawa Barat, rangkang di Aceh.[8]
Secara umum, sebagian
besar teori yang menjelaskan epistemologi pesantren selalu bersifat physical
oriented. Teori-teori tersebut umumnya menyebut integrasi 5 elemen pokok
pesantren. Yaitu (1) Kyai (2) Santri (3) Masjid (4) Pondok dan (5) Pengajaran
kitab-kitab Islam klasik. Padahal, secara faktual, sesungguhnya kehidupan
pesantren memiliki keragaman dan dinamika yang sangat variatif sejalan dengan
setting sosial budaya masyarakat tempat pesantren berada. Di sebagian besar
tempat, bisa jadi kelima unsur pesantren itu terpenuhi, namun di sebagian
daerah bisa jadi salah-satu atau dua unsur tersebut tidak terpenuhi. Apakah
dengan demikian tempat ini tidak layak disebut pesantren? Atau barangkali telah
terjadi kesalahan metodologis dalam merumuskan epistemologi pesantren.
Jika menelusuri kondisi
pesantren dengan sekian banyak dan kompleks varian dan dinamikannya, baik
secara fisik, kultur, pendidikan, maupun kelembagaannya, maka pesantren secara
isthilahy (epistemologis) sesungguhnya tidaklah sesederhana seperti yang teridentifikasi
dengan adanya kyai, santri, maupun masjid. Karena konsepsi dasar dari kategori
kyai dan santri saja sampai sejauh ini masih bersifat multi-interpretable.
Selain itu kategorisasi yang tidak didasarkan pada hakikat intrinsik dari suatu
objek merupakan tindakan simplifikatif, reduktif bahkan distortif. Bahkan dalam
wacana fenomenologi, Pesantren sesungguhnya adalah suatu lembaga atau institusi
pendidikan yang berorientasi pada pembentukan manusia yang memiliki tingkat
moralitas keagamaan Islam dan sosial yang tinggi yang diaktualisasikan dalam
sistem pendidikan dan pengajarannya. Dengan demikian, orientasi gerak dan
pengajaran ilmu-ilmu agama, sosial maupun eksak di pesantren adalah tidak lebih
dari sebuah proses pembentukan karakter (character building) yang
islami.
Model-model Pesantren
Seiring dengan
perkembangan zaman, pesantren-pesantren yang ada berusaha mengembangkan diri
sesuai dengan tuntutan zaman. Sebab inilah maka unsur-unsur pesantren itu kini
bisa berkembang menjadi bermacam-macam. Meskipun demikian secara makro pesantren
dibagi menjadi 4 tipe:[9]
a.
Pesantren Tipe A, yaitu
pesantren yang sangat tradisional. Para santri pada umumnya tinggal di asrama
yang terletak di sekitar rumah kyai. Mereka di pesantren hanya belajar kitab
kuning. Cara pengajarannya pun berjalan di antara sistem sorogan dan bandongan.
b. Pesantren Tipe B, yaitu pesantren yang memadukan antara mengaji secara
individual (sorogan) tetapi juga menyelenggarakan pendidikan formal yang ada di
bawah departemen pendidikan atau departemen agama. Hanya saja lembaga pendidikan formal itu
khusus untuk santri pesantren tersebut.
c. Pesantren
tipe C, hampir sama dengan tipe B tetapi lembaga pendidikannya terbuka untuk
umum
d. Pesantren
type D, yaitu pesantren yang tidak memiliki lembaga pendidikan formal, tetapi
memberikan kesempatan kepada santri untuk belajar pada jenjang pendidikan
formal di luar pesantren.
Karakteristik Pesantren
Di era penjajahan,
pesantren di berbagai daerah menjadi basis pergerakan melawan kolonialisme.[10]
Para kyai/ulama seperti Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro mempelopori perlawanan
terhadap pemerintah kolonial. Namun ketika perlawanan fisik ini dirasa gagal,
mereka mengalihkan perlawanan tersebut ke bidang pendidikan dengan membuat
sistem pendidikan sendiri.[11]
Dari sisi lain, para ahli melihat bahwa karena sistem pedidikan di pesantren
sangat efektif dan strategis bagi sosialisasi nilai terutama dikarenakan sifat
peternalistik yang menonjol, maka penjajah berusaha mempengaruhi lewat
kyai-kyainya. Namun karena nasionalisme warga pesantren maka mereka menolak
mendapatkan pengaruh lewat kerjasama penjajah. Karena itu para santri dan kyai
lebih baik mundur ke daerah pedalaman, menjauhi dunia kekuasaan.[12]
Realita saat ini
pesantren justru lebih banyak terjebak dalam perjuangan kepentingan yang
bersifat pragmatis oportunis, terlebih lagi pada era pasca Orde Baru, terutama
sekali pada saat-saat menjelang Pemilu. Pesantren dalam banyak kesempatan
justru menjadi ajang pertarungan kepentingan perebutan kekuasaan atas nama
agama. Generasi masa lalu menjadikan politik sebagai media memperjuangkan
kepentingan agama, saat ini justru agama dijadikan ‘tunggangan’ kepentingan
politik. Ini disebabkan karena Pesantren tidak memiliki visi dan misi yang
jelas dalam konstalasi perubahan sosial yang sedang berlangsung. Pesantren saat
ini ibarat sebuah kapal yang berlayar di tengah gelombang laut dengan tanpa
tujuan. Ia akan berlayar menuju ke tempat yang diinginkan oleh nahkodanya.
Hal ini diakui Khozin
bahwa terlalu sulit untuk dapat menemukan rumusan tujuan pesantren secara
tertulis, yang dapat dijadikan pedoman untuk tiap-tiap pesantren. Namun secara
sederhana Manfred boleh mengatakan bahwa tujuan pendidikan di pesantren adalah
mempersiapkan pemimpin-pemimpin akhlak dan kegamaan. Diharapkan para santri
akan pulang ke masyarakat mereka sendiri-sendiri untuk menjadi pemimpin yang
tidak resmi/tidak resmi dari masyarakatnya. Sedangkan Majid menyatakan bahwa
tujuan pendidikan di pesantren berada di sekitar terbentuknya manusia yang
memiliki kesadaran setinggi-tingginya akan bimbingan agama Islam, weltanschauung
yang bersifat menyeluruh dan diperlengkapi dengan kemampuan setinggi-tingginya
untuk mengadakan responsi terhadap tantangan-tantangan dan tuntutan hidup dalam
konteks ruang dan waktu yang ada: Indonesia dan dunia abad sekarang.[13]
Kesulitan dalam
menentukan tujuan pesantren yang seragam dari sejumlah besar pesantren yang ada
di Indonesia, mengakibatkan kesulitan yang lebih besar lagi dalam menentukan
kurikulum yang berlaku secara menyeluruh pada tiap-tiap pesantren. Persoalan
ini dilatarbelakangi oleh kondisi pesantren yang memiliki tradisi dan
karakteristik tersendiri. Inilah salah satu karakteristik pesantren yang dapat
kita lihat.
Jika ditelaah lebih jauh
masih banyak karakteristik pesantren, yang akan diuraikan secara global, –baik
dilihat dari segi orientasi gerakan, pengajaran dan pendidikannya-- walaupun
mungkin sebagian fungsi dan karakteristik pesantren saat ini secara faktual
sudah tergantikan oleh lembaga/institusi lain bahkan mungkin lahir dari
kalangan akademisi/kampus (lembaga pendidikan yang diidentikkan dengan
sekuler). Karakteristik tersebut diantaranya :
1. Religiusitas
(religiousity, bukan religion = agama) sebagai orientasi gerak pesantren
Rasa dan spirit
keberagamaan yang merupakan inti dari kurikulum pesantren dan termanifestasikan
dalam tasawuf,[14]
dewasa ini cenderung terabaikan dan hanya dikaji sambil lalu.[15]
Religiusitas bisa diperoleh melalui dua cara. Pertama, pengkajian yang
serius terhadap tasawuf. Kedua, pembentukkan miliu yang representatif
bagi pengembangan potensi rasa keberagamaan. Pengkajian dan penghayatan
terhadap dimensi spiritualitas inilah yang kelak akan menghasilkan
generasi-generasi yang peka terhadap aspek moralitas.
Pesantren (walaupun
hanya sebagian) setidaknya memberikan kesadaran baru bagi para santrinya bahwa
keberagamaan merupakan proses yang tidak pernah berakhir. Sementara agama
adalah produk yang sudah jadi. Yang selama ini terjadi adalah miss-konsepsi
tentang agama dan keberagamaan di dunia pesantren. Rasa keberagamaan selama ini
direduksi sebatas pengkajian terhadap ilmu agama an sich atau dzikir
tanpa makna semata.
Dimensi rasionalitas,
spiritualitas dan bahkan penghayatan akan nilai-nilai agama itu sendiri malah
sering terabaikan. Akibatnya, lahir generasi yang kaya akan khazanah ilmu agama
tanpa rasa keagamaan, kaya ilmu pengetahuan tanpa sikap keilmuan, generasi
dengan predikat santri tanpa mental kesantrian. Lebih lanjut, dalam kehidupan
praktis, pesantren hampir tidak memiliki konstribusi dan peran yang aktif dalam
melakukan perubahan sosial menuju ke kehidupan yang lebih beradab dan
berbudaya.
Keengganan sebagian
pesantren untuk menyelenggarakan pendidikan “formal” di lingkungannya dengan
argumen ilmu tersebut bukan ilmu agama menunjukkan adanya kesalahan dalam
pemahaman terhadap agama itu sendiri.
2. Utilitas
(utility/kebutuhan/kegunaan fungsional) sebagai pendekatan dalam kurikulum
Pendidikan.
Kurikulum pesantren
hampir tidak mengalami perubahan sementara pola dan kebutuhan hidup masyarakat
Islam semakin dinamis dan konstruktif, sehingga kurikulum itu kurang memiliki
keterkaitan dengan kebutuhan umat Islam. Bahkan materi yang diajarkan banyak
produk pemikiran ulama masa pertengahan bukan produk pemikiran ulama pada masa
klasik sebagaimana tertuang dalam empat imam mazhab dalam fiqih.
Menurut Moh. Syahrur,
sebuah ironi dalam sistem pendidikan umat Islam sekarang adalah terjadinya
in-efesiensi dalam sistem dan pendekatan terhadap kajian-kajian keilmuan Islam
klasik. Hampir di setiap pesantren terjadi pembahasan yang terlalu detail dan
rumit terhadap bentuk-bentuk ritual keagamaan yang menurutnya sebenarnya bisa
dijelaskan secara sederhana dan dalam periode waktu yang tidak terlalu lama,
pendalaman yang terlalu njlimet terhadap persoalan-persoalan tersebut tidak
banyak memberikan nilai positif serta tidak praktis. Apa yang dinyatakan oleh
Syahrur agaknya sejalan dengan keraguan Nurcholish Madjid yang mempertanyakan
apakah pengetahuan dan keahlian dalam suatu bidang, fiqh misalnya, secara keseluruhan
relevan dengan keadaan sekarang.[16]
Sehingga kajian keilmuan di pesantren belum dilakukan dari sudut pandang
persoalan apa yang benar-benar bermanfaat secara amaliyah/praktis bagi santri
di masa depan. Dengan berpijak pada pendekatan ini maka pembelajaran tentang
materi-materi keilmuan di pesantren yang meliputi fiqh, aqidah, dan lainnya
belum menyentuh aspek asas nilai manfaat praktis dan “pragmatis” bagi santri di
masa depan.
3. Pesantren Keluarga
Kebanyakan pesantren
merupakan pesantren keluarga. Sebutan itu diberikan karena pada umumnya
kebutuhan fisik pesantren adalah milik keluarga. Tanah, biasanya milik
keluarga. Setelah berdiri barulah ada orang luar keluarga yang mewakafkan
tanahnya untuk kepentingan pesantren. Pengelola, yaitu kyai dan para ustadz
hampir seluruhnya dari kalangan keluarga. Bila ada bantuan dari pihak lain maka
bantuan itu praktis menjadi milik keluarga.
Ada segi baiknya bila
pesantren menjadi milik keluarga yaitu rasa tanggung jawab anggota keluarga
begitu besar. Tetapi segi kekurangannya diantara adalah :
a.
Cenderung hanya menyadari kelebihan diri,
kurang menyadari kekurangannya.
b.
Cenderung menutupi kelemahan yang ada, baik
kelemahan pada kelembagaan, kelemahan pada profesionalisme pejabat pesantren,
kelemahan program, kelemahan pada produk, kelemahan pada integrasi pribadi
anggota keluarga, kelemahan pada pertanggung jawaban keuangan. Dan kelemahan
itu ditutupi bersama-sama dengan alasan bila terbuka akan memalukan seluruh
anggota keluarga, jadi wajar ditutupi.
c.
Sulit mengembangkan gagasan baru dalam sistem
organisasi pesantren karena keputusan semua bergantung pada selera kyai (yang
umumnya cenderung subyektif). [17]
d.
Sangat lamban dalam mengambil keputusan
karena harus meminta restu kyai.
e.
Cenderung adanya sifat iri satu anggota pada
anggota keluarga lainnya. Sebetulnya sifat ini wajar juga, alamiah, manusiawi.
Namun ia dapat menjadi sumber keretakan. Selanjutnya keretakan seringkali
menjadi pemicu kemunduran. Keirian itu dapat muncul karena beberapa sebab,
antara lain salah satu anggota keluarga :
1)
memperoleh material atau penghormatan (dari
dalam atau dari luar keluarga) lebih dari satu anggota lainnya.
2)
lebih sukses daripada anggota lain.
3)
menduduki posisi yang lebih penting daripada
anggota keluarga lain.
4. Prinsip pendidikan
Pesantren
Setidaknya ada 9 prinsip
yang dikembangkan dalam pendidikan di pesantren yakni prinsip ibadah, amar
ma’ruf nahi mungkar, mengagungkan ilmu, pengalaman (aktualisasi atas ilmu yang
diperoleh), membangun hubungan kyai dan santri seperti hubungan orang tua-anak,
estafet (meyerahkan sebagian tugas kyai kepada santri senior), kolektifitas
(mendahulukan kewajiban dan kepentingan bersama diatas kepentingan pribadi),
kemandirian dan kesedehanaan (sikap hidup secara wajar, proporsional dan tidak
berlebihan, terutama pada materi).[18]
5. Metode dan Sistem
Pengajaran
Menurut Gusdur bahwa
Keunikan pengajaran di pesantren dapat temui pada cara pemberian pelajarannya,
kemudian dalam penggunaan materi yang telah diajarkan kepada dan dikuasai oleh
para santri. Pelajaran diberikan dalam pengajian yang berbentuk seperti kuliah
terbuka, dimana sang kyai membaca, menterjemahkan dan menerangkan
persoalan-persoalan yang disebutkan dalam teks yang sedang dipelajari. Kemudian
santri membaca ulang teks itu, entah di hadapan kyai atau setelah kembali dari
biliknya, atau dalam pengajian ulang antara sesama teman setingkat pengajian
(pengajian ulang disebut, musyawarah, takrar, madrasah, jam’iyah dan
sebagainya).[19]
Atau sering dikenal dengan istilah yaitu metode weton dan sorongan.
Metode sorongan adalah
berupa: santri menghadap guru, seorang demi seorang dengan membawa kitab yang
akan dipelajarinya. Kyai membacakan pelajaran yang berbahasa arab itu kalimat
demi kalimat kemudian menterjemahkannya dan menerangkan maksudnya. Santri
menyimak dan mengesahkan, dengan memberi catatan pada kitabnya, untuk mensyahkan
bahwa ilmu itu telah diberikan oleh kyai. Adapun istilah Sorongan tersebut
berasal dari kata sorog (Jawa) yang berarti menyodorkan. Sebab setiap
santri menyodorkan kitabnya di hadapan kyai atau pembantunya. [20]
Sedang metode weton
adalah metode kuliah, dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di
sekeliling kyai yang menerangkan pelajaran secara kuliah. Santri menyimak kitab
masing-masing dan membuat catatan padanya. Istilah weton berasal dari
kata wektu (Jawa) yang berarti waktu, sebab pengajian tersebut diberikan
pada waktu-waktu tertentu, yang sebelum dan sesudah melakukan shalat fardhu. Di
Jawa Barat, metode ini disebut dengan bandungan sedang di Sumatra
disebut halaqah. [21]
Karena semua mata
pengajian yang diberikan bersifat aplikatif, dalam arti harus diterjemahkan
dalam perbuatan dan amalan sehari-hari, sudah tentu segi kemampuan para santri
untuk mengaplikasikan pelajaran yang diterimanya, menjadi perhatian pokok kyai.
Diakui memang dengan metode klasik pesantren seperti itu
mampu mentransfer ilmu-ilmu klasik yang diajarkan kyai. Namun karena kurang
adanya improvisasi metodologi; proses transmisi misi itupun melahirkan
penumpukan keilmuan. Menurut Martin Van Bruinessan, sehingga ilmu-ilmu
keislaman tersebut dianggap sebagai barang jadi yang tidak perlu diolah
kembali. Jadi proses transmisi itu merupakan penerimaan secara taken for
granted. Hal ini tampak dalam subjek pengetahuan yang bercorak fiqih
centris (fiqih oriented), yakni hanya mempelajari hukum-hukum amaliah
(syari’ah) yang dihasilkan oleh ulama klasik (salaf) itupun kadang hanya
dari satu golongan (mazhab) seperti Syafi’iyah. sedangkan materi ushul fiqih
sebagai metodologi of islamic thought kurang mendapat porsi yang layak.[22]
Sehingga seiring dengan perkembangan zaman, metode
sorongan, weton dan lain sebagainya oleh sebagian pesantren mulai
ditinggalkan atau didampingi dengan sistim madrasi atau klasikal dengan
menggunakan alat peraga, evaluasi dengan berbagai variasinya dan juga
latihan-latihan. Begitupun dengan prinsip psikologi perkembangan dalam
pendidikan dan proses belajar mengajar mulai diterapan dan metode pengajaran
baru pada masing-masing fakultas dipraktekkan. Kenaikan tingkat, pembagian
kelas dan pembatasan masa belajar diadakan, sembari administrasi sekolah pun
dilaksanakan dalam organisasi yang tertib.[23]
6. Perekonomian
Manajemen biaya
pesantren umumnya lebih bertumpu pada sumbangan masyarakat, baik berupa zakat,
infaq shadaqah atau dalam bentuk sumbangan masyarakat lainnya.
7. Panutan masyarakat
Dari dulu hingga kini,
pesantren tetap menjadi persemaian keilmuan, keikhlasan, panutan, dan restu.
Dalam aspek keilmuan, pesantren mampu mengembangkan warisan ilmu pengetahuan
dari zaman ke zaman, selama ratusan atau ribuan tahun, yang bersumber dari
aturan Allah SWT dalam Alquran, serta sunah Rasulullah saw. Memang di sana sini
terdapat modifikasi, sesuai dengan tuntutan kebutuhan lingkungan yang terus
maju, namun secara prinsip tidak berubah. Dalam masalah keikhlasan, misalnya,
ini tetap terpelihara. Kyai atau santri pesantren berkecimpung di tengah
kehidupan sosial, senantiasa lillahi ta'ala. Tak punya pamrih apa pun.
Karena itu, pesantren mampu bertahan sebagai panutan kepercayaan umat.
Maka tidak heran jika
para pembesar --terutama calon pembesar, mulai dari calon anggota legislatif,
hingga calon presiden-- berdatangan ke pesantren setiap musim pemilihan. Mereka
meminta restu dari kyai dan komunitas pasantren. Belum pernah terdengar, para
calon pembesar negara, meminta restu dari lembaga-lembaga pendidikan formal,
dari sekolah-sekolah atau universitas-universitas terkenal. Malah, jika calon
pembesar datang ke sana, suka didemo oleh murid dan mahasiswa.[24]
8. Ketergantungan santri
Ada kecenderungan santri
akan mengalami kendala dalam menteorikan realita yang terjadi di masayarakat,
karena terpaku pada teks klasik dan ketergantungan kepada kyai sangat besar
untuk memecahkan setiap butir persoalan hidup yang dia hadapi. [25]
9. Suasana Kebersihan
Ada kecenderungan suasana kebersihan dalam lingkungan
pesantren kurang terpelihara, -walaupun mungkin tidak semua pesantren. Boleh
jadi yang menjadi salah satu penyebabnya adalah pemahaman tentang konsep
‘zuhud’ yang salah, masih saja dilakukan oleh para santri.[26]
Penutup
Pendidikan pada dasarnya
merupakan latihan fisik, mental dan moral bagi individu, agar mereka menjadi
‘manusia’. Dengan pendidikan, individu itu diharapkan mampu memenuhi tugasnya
sebagai manusia –yang diciptakan Allah sebagai makhluk yang sempurna dan terpilih
sebagai khalifahNya di bumi dan menjadi warga negara yang berarti dan
bermanfaat bagi suatu negara.
Lembaga pendidikan di
Indonesia dapat dibagi kedalam tiga kelompok besar yaitu sekolah umum, madrasah
dan pesantren. Ketiga lembaga pendidikan tersebut mempunyai tujuan untuk
mendidik peserta didik menjadi ‘manusia’. Disamping itu mempunyai
karakteristik, kelebihan dan kekurangan dalam sistem pendidikannya. Sekolah
umum lebih menitik beratkan pada pengetahuan umum, sedang madrasah sama dengan
sekolah umum tapi mempunyai kelebihan ‘berciri khas Islam’, sedangkan pesantren
adalah lembaga pendidikan yang lebih memfokuskan pendidikannya memperdalam
ajaran Islam, dimana para santrinya harus mondok dalam pesantren, dibawah
bimbingan dan pengawasan seorang kyai.
Walaupun ketiga lembaga
ini sama-sama telah diakui keberadaannya oleh pemerintah, namun dikotomi
pendidikan sejak zaman kolonial yang memilah pendidikan umum dan pendidikan
agama tidak luntur sampai hari ini. Madrasah dan pesantren selalu menjadi anak tiri di
negerinya sendiri.
Olehnya, jangan heran
bila kondisi madrasah dan pesantren masih sangat memprihatinkan baik dari segi
fasilitas/sarana prasana, kualitas peserta didik, Sumber Daya Manusia, dan
teknologi dan lain sebagainya, dibanding dengan sekolah.
Maka terkait hal
tersebut, kita berusaha berjuang agar dikotomi maupun disparitas yang ada dalam
dunia pendidikan di Indonesia dapat dihilangkan. Karena Madrasah dan
pesantren pada hakekatnya merupakan salah satu sumber pendidikan bagi rakyat
jelata. Oleh karenanya peningkatan kualitas pendidikan pesantren maupun
madrasah menjadi tanggung jawab bersama.
[1]http://langitan.net/
[2] HAR Tilaar, hal.151
[4]Yasmadi, Modernisasi
Pesantren (Jakarta: Ciputat Press,
2002), hal. 61.
2002), hal. 61.
[5]Zamakhsyari
Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta:
LP3ES, 1994), hal. 18.
[6]Hasbullah, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hal.
138.
[7]Khozin, hal. 98.
[8]Dawam Raharjo (editor), Pesantren
dan Pembaharuan, (Jakarta: PT Pustaka LP3ES, 1995), hal.10
[10]Dawam Raharjo (editor), hal.10
[11]Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah,
Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern (Jakarta : LP3ES, 1994), hal.
211.
[12]Hadi Supeno, hal.8.
[13]Khozin, hal.103
[14]Karel A. Steenbrink, Pesantren,
Madrasah, Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern (Jakarta : LP3ES,
1994), hal. 211.
[15]Yasmadi, Modernisasi Pesantren (Jakarta :
Ciputat Press, 2002), hal. 79.
[16]Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren
(Jakarta : Paramadina, 1997), hal. 8.
[17]Dawam Raharjo (editor), hal. 16
[18]Tamyiz Burhanudin, Akhlak Pesantren: Solusi
Bagi Kerusakan Akhlak, (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001), hal. 48.
[19]Dawam Raharjo, hal.42.
[20]Ibid., hal.87-88
[21]Ibid.
[22] Hasyim, M. Affan, Menggagas
Pesantren Masa Depan, (Yogyakarta: Qirtas, 2003)
hal.226
[23]Dawam Raharjo, hal. 89
[24]http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0505/22/09.htm
[25] Kuliah, Manajemen Berbasis
Sekolah, madrasah dan Pesantren, oleh Prof. Dr. H. Shodiq Kuntoro, M. Ed,
pada Kamis, 01 November 2007 di PPs UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[26] Kuliah, Manajemen Berbasis
Sekolah, madrasah dan Pesantren, oleh Prof. Dr. H. Shodiq Kuntoro, M. Ed,
pada Kamis, 22 November 2007 di PPs UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar