
Kajian Islam ini tentang
bukan pembahasan yang berkutat pada masalah syari’at. Dalam hal syari’at,
setiap muslim tentu telah memiliki mazhab dan melaksanakannya menurut latar
belakangnya sendiri-sendiri. Semua mazhab syari’ah yang dianut oleh masing-masing orang adah sah-sah
saja. Pada kajian ini, tidak bermaksud
mengubah apapun yang telah dimiliki masing-masing.
Masalah yang kurang mendapat sentuhan di kalangan Umat Islam ialah
masalah pandangan hidup, sikap aktual dalam bermasyarakat dan proses
berkomunikasi dengan dunia luar. Pada dasarnya sebaik-baik ibadah seseorang,
namun jika tidak memiliki pandangan hidup yang benar, maka penampilan ibadahnya
menjadi “compang-camping”; penampilan
yang tidak etis dan tidak menghargai orang lain. Padahal di dalam kehidupan,
kita yakin bahwa tidak ada manusia kembar (tidak semuanya sama), maka tidak
semua pendapat manusia itu sama. Brbagai perbedaan inilah yang seharusnya
mendapat perhatian.
Selama ini, kita mendapat pengajaran dari lingkungan atau nara
sumber untuk menghargai orang yang sama dengan diri kita. Kita jarang diajar
untuk menghargai orang yang berbeda pendapat dengan kita. Justru yang kedua
inilah yang terpenting. Bahwa kita tidak berhak menuntut pihak lain untuk sama
dengan diri kita. Itulah makna ‘bereksistensi’, yaitu hidup bersama orang lain.
Bereksistensi adalah proses mewujud, sedang bermaujud senantiasa
bersama pihak lain yang berbeda dengan diri kita. Di sini kita akan menemukan
makna kehadiran orang lain, sehingga kita sadar betapa tingginya keberadaan
pihak lain di hadapan kita.
Proses pengembangan diri dan pencarian sarana bagi diri seseorang
akan bergantung pada kreativitas orang lain. Nasi yang kita makan bukan berasal
dari padi yang kita tanam sendiri; baju yang kita pakai bukan yang kita hasil
tenunan sendiri; rumah yang kita galang bukan karya sendiri. Semua fasilitas
yang menyertai kita pada dasarnya adalah hasil kreativitas pihak lain. Demikian
realitas manusia yang tidak lepas dari tolong menolong di dalam memenuhi
kebutuhannya, mengembangkan dan menyempurnakan dirinya. Tanpa orang lain,
seseorang tidak akan tumbuh menjadi besar, berkembang dan mampu menyempurnakan
diri. Justru sebaliknya, dengan adanya orang lain. Dengan kebersamaan tersebut,
seseorang akan menemukan dirinya menjadi lebih baik. karena ia senantiasa
mendapat tawaran-tawaran nilai, kritikan-kritikan dan nasihat-nasihat.
Manusia adalah makhluk sosial yang senantiasa hidup bersama
manusia lain. Dengan adanya hidup bersama orang lain, maka sikap yang harus
kita miliki adalah menghargai orang lain karena “kelainannya”. Kelainan ini
berarti; ia memiliki sesuatu yang tidak kita miliki, sebaliknya, kita mempunyai
sesuatu yang orang lain tidak punya. Akan tetapi, kelainan tersebut bukanlah
sesuatu yang tidak dapatisa dicari titik temunya. Pada dasarnya, kelainan
tersebut adalah kelainan yang bersifat pribadi. Semantara titik temunya adalah sama-sama ingin hidup
dan berkembang, sama-sama ingin tumbuh dan menjadi baik dan akhirnya sama-sama
ingin menjangkau kesempurnaan. Olah karena itu, sikap yang harus dikembangkan
dalam dalam hidup bersama adalah
menghargai orang lain karena “kelainannya”.
Terdapat salah satu kisah dalam kumpulan cerita tentang kearifan
tradisi Timur karya Anthony De Mello,
seorang Belanda. Seorang sufi bercerita bahwa ada seekor kera sedang
melompat-lompat dan bermain-main di
antara ribunnya pepohonan di tengah hutan. Sambil mencari makan, kera itu
akhirnya sampai di tepi sebuah danau. Kera itu tertegun tatkala melihat ke
dalam danau ada ikan. “Oh, kasihan”,
kata kera. Lalu ia mencebur ke dalam air dan berkata: “Sebaiknya aku
tolong ikan ini biar tidak tenggelam,”. Dengan susah payah kera itu menangkap
ikan dan membawanya ke daratan serta diletakkannya di bawah pohon. Namun apa
yang terjadi, ikan pun meronta-ronta. Kemudian seseorang mendekat dan bertanya,
“Hai kera, apa yang sedang kau lakukan?” “Saya sedang menolong dia yang
tercebur ke dalam air,” jawabnya. “Oh, tidak kawan! Kamu tidak sedang menolong,
tetapi kamu sedang memberi bencana bagi itu.”
Jadi, orang yang bersikap bahwa orang lain harus seperti dirinya,
sama halnya dengan sikap kera terhadap ikan tadi. Biarlah ikan menjadi ikan
yang hidupnya di dalam air, sejahtera di dalam air, meskipun kera di dalam air
bisa mati tenggelam. Demikianlah seharusnya kita menghargai orang lain sesuai
dengan kelebihan dan kekurangannya, tidak mendaulat orang lain harus sama
seperti diri kita. Justru kita harus menghargai orang lain karena
“kelainannya”.
Sleman, Sabtu 7 Maret 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar